Istiqomahlah

Minggu, 10 Januari 2010
Ikhwan Fillah….
Sesungguhnya Iman itu senantiasa bertambah dan berkurang. Dan ketika iman kita berkurang, kita mudah untuk
menyimpang dari Shiratal Mustaqim, sehingga Rasulullah menyatakan : “Sesunguhnya setiap amalan itu ada
masa semangatnya dan setiap masa semangat itu pasti ada masa jenuhnya. Barang siapa yang masa kejenuhannya
ia kembali kepada sunnahku maka telah mendapat petunjuk, barang siapa yang masa jenuhnya menyebabkan ia
berpaling dari sunnahku maka telah binasa.”
Oleh sebab itu hendaknya kita menjaga diri kita dari kebinasaan. Ketahuilah bahwa musuh-musuh Islam dan
musuh Ahlus Sunnah senantiasa berusaha untuk menggelincirkan kita dari Al-Haq, mereka senantiasa mengintai
dan mencari kesempatan untuk menggoda dan menyesatkan kita. Tidakkah kalian ingat kisah Ka'ab bin Malik
Radhiallaahu'anhu yang diboikot oleh Rasulullaah dan Sahabatnya. Beliau digoda oleh musuh Rasulullah, Raja
Ghasan. Ia dikirimi sebuah risalah oleh Raja Ghasan : “telah sampai kepadaku bahwa sahabatmu telah bersikap
keras terhadapmu….., marilah bergabung bersama kami, kami akan memberikan keluasan kepadamu.”
Lihatlah bagaimana seorang sahabat yang mulia digoda untuk digelincirkan dari Shiratal Mustaqim. Oleh sebab
itu marilah kita jaga diri kita dari godaan Syetan dengan menghadiri majelis-majelis ilmu.
Ketahuilah diantara sebab bertambahnya Iman adalah dengan mendatangi majelis ilmu dan berkumpul dengan
orang shalih. Dan diantara sebab turunnya iman dan sesatnya seseorang adalah ketika ia menjauhi majelis ilmu
dan menjauh dari Ahlus Sunnah. Allah berfirman dalam surat Al-Hadiid; 16 yang artinya: “Belumkah datang
waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran
yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan
Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan
kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Handzalah Radhiallaahu 'anhu pernah ditanya oleh Rasulullah, “Bagaimana kabarmu ?” Handzalah
menjawab,”….Wahai Rasulullah apabila kami di majelismu sepertinya kami melihat surga dan neraka dengan
mata kepala sendiri, tapi bila kami kembali ke rumah, kami terlalaikan oleh keluarga dan urusan dunia kami,…..”
Hadist ini sangat jelas menerangkan bahwa menghadiri majelis ilmu adalah penambah iman dan benteng bagi
diri kita dari kesesatan.
Oleh karena itu, marilah kita tambah iman kita dengan menghadiri majelis 'ilmu dengan ikhlash, dengan harapan
mudah-mudahan akan menambah iman dan membentengi diri kita dari kesesatan.***
(Tazkiyatun Nafs )

Sirah Sa’d bin Muadz

Selasa, 22 Desember 2009



Namanya adalah Sa’d bin Muadz bin an Nu’man bin Imri’ al Qais al Asyhali al Anshari radhiyallahu ‘anhu, seorang Sahabat yang memiliki kedudukan yang agung. Dia masuk Islam sebelum Hijrah melalui Ibnu Umair radhiyallahu ‘anhu. Ia pernah berkata kepada kaumnya, “Ucapan laki-laki dan perempuan kalian haram bagiku hingga kalian masuk Islam. Masuk Islamlah kalian! Sa’d bin Muadz radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang paling agung berkahnya bagi agama Islam.

Sa’d bin Muadz radhiyallahu ‘anhu ikut andil dalam perang Badar. Beliau terkena lemparan anak panah pada perang Khandaq dan ia hidup sebulan. Kemudian, setelah memberikan keputusan hukum bagi bani Quraidzah, lukanya semakin membengkak dan wafat pada tahun kelima Hijrah.

Keberadaan di sisi Rasulullah juga memberikan kekuatan bagi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Dalam sebuah syair disebutkan:

“Jika dua Sa’d masuk Islam

Maka Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam di Mekkah tidak takut terhadap perbuatan orang yang menyelisihi.”

(maksudnya adalah Sa’d bin Ubadah, pembesar suku Khazraj dan Sa’d bin Muadz pembesar suku Aus)

Peran Sa’d Dalam Memberikan Keputusan Terhadap Bani Quraidzah

Dalam kitab Fathul Bari, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan: Sa’d bin Muadz radhiyallahu ‘anhu terkena lemparan anak panah pada urat nadi tangannya oleh seorang Quraisy yang bernama Hibban bin al Ariqah/Hibban bin Qais dari bani Maish bin Amir bin Luay. Lalu Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pun membangun tenda untuk Sa’d radhiyallahu ‘anhu di masjid, agar beliau bisa menjenguknya dari dekat.”

Selanjutnya Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan: Tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pulang dari khandaq, beliau meletakkan senjatanya lalu mandi. Kemudian datanglah seseorang (Jibril).” (dalam riwayat lain: Seseorang memberikan salam kepada kepada kam. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam terkejut lalu berdiri, aku juga berdiri. Ternyata dia adalah Dihyatul Kalbi. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ini adalah Jibril.” Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda: “Ia datang kepadaku untuk menyuruhku pergi kepada bani Quraidzah.”). Kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam membersihkan debu-debu yang ada di muka Jibril. Jibril berkata, “Engkau telah meletakkan senjatamu. Demi Allah azza wa jalla, aku belum meletakkan senjataku. Keluarlah kepada mereka!” Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Kemana?” Kemudian Jibril mengisyaratkan kepada bani Quraidzah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pun keluar setelah itu. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengepung mereka selama 15 atau 25 malam. (lihat al Fath 9/212-216). Pengepungan tersebut membuat mereka merasa berat dan Allah azza wa jalla juga menanamkan rasa takut kedalam hati mereka.

Dalam kondisi demikian, yaitu mereka merasa yakin bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dan pasukannya tidak akan pergi meninggalkan mereka; pemimpin mereka Ka’b bin Asad berkata kepada mereka, “Wahai kaum Yahudi! Sesungguhnya keadaan kalian adalah seperti yang kalian lihat sekarang. Aku tawarkan kepada kalian tiga hal, pilihlah mana yang kalian suka!” Mereka bertanya, “Apa saja itu?” Ka’b menjawab,”Pertama: kita mengikuti lelaki ini (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) dan beriman kepadanya. Demi Allah, kalian sudah tahu bahwa dia adalah seorang nabi yang diutus kepada kalian. Sungguh, dialah lelaki yang telah disebutkan dalam kitab kalian. Jika kalian bersedia, maka darah, harta benda, anak-anak dan istri-istri kalian akan aman.” Mereka menjawab,”Kami tidak akan meninggalkan hukum Taurat selamanya dan kami tidak akan mengambil hukum selainnya.” Lalu Ka’b berkata,”Kalian tidak setuju dengan usulan ini, maka usulan Kedua: mari kita bunuh anak-anak dan istri kita. Kemudian kita keluar mengangkat pedang melawan Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dan para Sahabatnya. Kita tidak akan meninggalkan beban di belakang kita. Hingga Allah memberi keputusan antara kita dan mereka. Jika kita binasa, maka selesailah urusannya! Kita tidak meninggalkan keturunan yang kita khawatirkan. Dan jika kita menang, maka demi Allah, kalian pasti akan mendapatkan wanita dan anak-anak lagi.” Mereka menjawab,”Kita akan bunuh orang-orang lemah ini?! Jika kita bunuh mereka, maka kesenangan hidup apalagi bagi kita setelah kehilangan mereka?” Ka’b menjawab.”Jika kalian enggan dengan ini, maka usulan ketiga: pada sabtu malam, mungkin Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dan para Sahabatnya akan memberikan keamanan kepada kita. Maka menyerahlah! Mudah-mudahan kita bisa mengintai Muhammad dan pasukannya. Mereka mengatakan,”(jika demikian) berarti kita mengotori hari sabtu kita dan melakukan suatu yang tidak pernah dilakukan pendahulu kita kecuali orang yang telah engkau tahu, sehingga mereka tertimpa musibah yang sudah kita pahami bersama.” Kemudian Ka’b berkata dengan nada tinggi karena marah,”Sejak kalian dilahirkan, kalian tidak pernah memiliki pendirian yang teguh walau hanya semalam.”

Akhirnya, kemudian mereka mengirim utusan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan pesan,”Utuslah Abu Lubabah bin Abdul Mundzir, saudara bani Auf agar menemui kami. Kami akan meminta pendapatnya.” Dulu mereka adalah sekutu suku Aus. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengutusnya. Saat melihat kedatangan Abu Lubabah, semua laki-laki bangkit dan mengeruminya sedangkan wanita dan anak-anak menangis dihadapannya. Abu Lubabah sangat iba melihat keadaan mereka. Mereka berkata”Wahai Abu Lubabah, apakah kami harus tunduk kepada keputusan Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam?” Dia menjawab,”Begitulah.” Sambil memberi isyarat dengan tangannya yang diletakkan di leher yang maksudnya: jika kalian tunduk kepada hukum Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, kalian akan di hukum mati. Setelah itu Abu Lubabah sadar bahwa ia telah mengkhianati Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Seketika itu dia berbalik dan tidak menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tapi langsung mengikat tubuhnya di salah satu tiang masjid. Ia berkata,”Aku tidak akan meninggalkan tempatku hingga Allah ta’ala memberi taubat kepadaku terhadap semua yang telah aku lakukan.” (Lihat as Siratun Nabawiyah, Ibnu Hisyam hal.793-794)

Ibnu Ishak rahimahullah menyebutkan: “Tatkala pengepungan sudah sangat ketat, mereka pun terpaksa tunduk kepada hukm Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Melihat kondisi ini suku Aus berkata kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah engkau telah memperlakukan sekutu Khazraj dengan perlakuan yang telah engkau putuskan (engkau maafkan, kenapa engkau tidak memaafkan bani Quraidzah-red).” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Apakah kalian tidak rela salah seorang diantara kalian menetapkan hukuman buat bani Quraidzah?” Mereka menjawab,”Ya” maka beliau berkata,”Serahkanlah kepada Sa’d.”

Dalam banyak kitab sirah disebutkan bahwa mereka tunduk dengan hukum Sa’d radhiyallahu ‘anhu; dan telah disepakati bawah mereka telah tunduk kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sebelum tunduk kepada hukum Sa’d radhyallahu ‘anhu. Alqamah bin Waqash radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa tatkala kondisi dan situasi serasa berat bagi mereka, seseorang memerintahkan,”Tunduklah kalian kepada keputusan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam!” Tatkala mereka meminta petunjuk kepada Abu Lubabah, ia menjawab,”Kita tunduk kepada hukum Sa’d bin Muadz radhiyallahu ‘anhu.” Setelah itu Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengembalikan hukum kepada Sa’d bin Muadz radhiyallahu ‘anhu.

Kemudian Sa’d radhiyallahu ‘anhu berkata,”Dalam hal ini aku memutuskan agar prajurit bani Quraidzah dibunuh; para wanita & anak-anak ditawan dan harta bendanya dibagi-bagikan.”

Hisyam (seorang perawi) mengatakan,”Ayahku menceritakan kepadaku dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Sa’d radhiyallahu ‘anhu pernah berdoa kepada Allah azza wa jalla, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah mengetahui bahwa tidak ada suatu kaum pun yang lebih suka aku perangi daripada mereka yang telah mendustakan dan mengusir Rasul-Mu. Ya Allah, aku mengira Engkau telah menghentikan peperangan antara kami dan mereka. Jika masih ada lagi peperangan dengan mereka, maka panjangkan usiaku hingga aku bisa berperang karena-Mu. Dan jika Engkau telah menghentikan peperangan, maka parahkanlah lukaku dan takdirkanlah kematianku saat itu.”

Kemudian lukanya pun bertambah parah. Tidak ada sesuatu yang mengejutkan penghuni kemah bani Ghifar (penghuni masjid) tatkala itu, melainkan darah yang terus mengalir menuju mereka. Mereka bertanya,”Wahai penghuni tenda, apa ini yang mengalir menuju kami dari arah kalian?” Tiba-tiba darah itu mengalir semakin cepat dan Sa’d radhiyallahu ‘anhu pun meninggal dunia.” [Lihat al Fath 9/213]

Dalam riwayat disebutkan bahwa ketika jenazahnya berada di hadapan manusia, orang-orang munafikin mengatakan,”Sungguh ringan sekali jenazahnya.” Kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,”Sesungguhnya para malaikat membawa jenazahnya, dan arsy Allah azza wa jalla bergoncang karenanya.”

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

“Singgasana Allah azza wa jalla bergoncang karena kematian Sa’d bin Muadz.” [HR.al Bukhari]

Maraji’:

1. Kitab Fadhailul Sahabah Lil Imam Ahmad hal.1029
2. Kitab Shahihul Musnad min Fadhailil Sahabah hal.267
3. Kitab Sirah Nabawiyah Ibni Hisyam hal.793-794

Sumber:

Diketik ulang dari Majalah as Sunnah Edisi 04 Thn.XIII, Rajab 1430/Juli 2009, Rubrik Baituna hal.8-9

Dipublikasikan kembali oleh : http://alqiyamah.wordpress.com

Hukum Mengenakan Celana Panjang




Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan


Pertanyaan:
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Bolehkah seorang pria ataupun wanita melaksanakan shalat dengan menggunakan celana panjang ? Jika wanita mengenakan pakaian tipis namun tidak menampakkan auratnya, apa hukumnya ?

Jawaban:
Pakaian sempit yang menampakkan bentuk tubuh wanita dan potongan badannya tidak boleh dipakai. Pakaian sempit ini tidak boleh dipakai baik oleh wanita maupun pria, akan tetapi wanita lebih dilarang, karena fitnah yang ditimbulkannya bisa lebih besar.

Sedangkan shalat yang dilakukan dengan mengenakan pakaian sempit dan menutup seluruh badannya, tetap sah karena telah memenuhi syarat menutup. Akan tetapi pelakunya berdosa karena ada syarat shalat yang tidak sempurna dikarekanakan pakaiannya yang sempit tersebut. Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, akan menjadi pengundang fitnah dan mendorong orang melihat kepadanya, apalagi bila yang mengenakannya adalah wanita.

Oleh karena itu, diwajibkan bagi wanita untuk menutup tubuhnya dengan pakaian yang lebar yang tidak menampakkan bentuk tubuhnya, tidak menyebabkan pandangan orang tertuju padanya dan tidak pula tipis dan transparan. Akan tetapi haruslah pakaian yang menutup auratnya secara sempurna, tidak menampakkan tubuhnya, tidak pendek yang menampakkan betis, pergelangan atau telapak tangannya dan tidak menampakkan wajah di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya. Tidak boleh dia mengenakan pakaian yang tipis, yang bisa menampakkan tubuh dan warna kulitnya, karena pakaian itu tidak dianggap sebagai pakaian penutup aurat.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mejelaskan tentang hal ini dalam hadits shahih, beliau bersabda.

“Artinya : Ada dua golongan ahli neraka dari umatku, saya tidak melihat mereka sebelumnya, suatu kaum yang memegang cambuk seperti ekor sapi yang dipakai untuk mencambuki manusia dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, sesat dan menyesatkan, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga”.

Yang dimaksud dengan “kasiyatun’ (berpakaian) bahwasanya mereka mengenakan pakaian, akan tetapi pada dasarnya ‘’aariyatun” (telanjang) karena pakaiannya tidak menutup auratnya, karena bentuknya saja yang bisa disebut pakaian, tapi tidak menutup bagian yang harusnya tetutupi,baik karena tipisnya, karena pendeknya atau karena sempit dan menampakkan bentuk tubuh. Maka bagi para wanita hendaknya berhati-hati dalam masalah ini.

[Al-Muntaqa min Fatawa Syaikh Shalih-Al-Fauzan, juz 3 hal.308-309]

Hukum Isbal

Senin, 21 Desember 2009



hayatulislam.net – Soal: Ustadz yang terhormat, saya mau nanya tentang hukum isbal. Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa isbal dianggap salah satu dosa besar yang diancam dengan ancaman yang keras. Mohon penjelasannya.

Jawab:
Dari Ibnu ‘Umar diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Barangsiapa memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat.” Kemudian Abu Bakar bertanya, “Sesungguhnya sebagian dari sisi sarungku melebihi mata kaki, kecuali aku menyingsingkannya.” Rasulullah Saw menjawab, “Kamu bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.” [HR. Jama’ah, kecuali Imam Muslim dan Ibnu Majah dan Tirmidizi tidak menyebutkan penuturan dari Abu Bakar.]

Dari Ibnu ‘Umar dituturkan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda:
“Isbal itu bisa terjadi pada sarung, sarung dan jubah. Siapa saja yang memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah swt tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat.” [HR. Abu Dawud, an-Nasa`i, dan Ibnu Majah]

Kata khuyalaa’ berasal dari wazan fu’alaa’. Kata al-khuyalaa’, al-bathara, al-kibru, al-zahw, al-tabakhtur, bermakna sama, yakni sombong dan takabur.
Mengomentari hadits ini, Ibnu Ruslan dari Syarah al-Sunan menyatakan, “Dengan adanya taqyiid “khuyalaa’” (karena sombong) menunjukkan bahwa siapa saja yang memanjangkan kainnya melebihi mata kaki tanpa ada unsur kesombongan, maka dirinya tidak terjatuh dalam perbuatan haram. Hanya saja, perbuatan semacam itu tercela (makruh).”
Imam Nawawi berkata, “Hukum isbal adalah makruh. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Syafi’iy.”

Imam al-Buwaithiy dari al-Syafi’iy dalam Mukhtasharnya berkata, “Isbal dalam sholat maupun di luar sholat karena sombong dan karena sebab lainnya tidak diperbolehkan. Ini didasarkan pada perkataan Rasulullah Saw kepada Abu Bakar ra.”
Namun demikian sebagian ‘ulama menyatakan bahwa khuyala’ dalam hadits di atas bukanlah taqyiid. Atas dasar itu, dalam kondisi apapun isbal terlarang dan harus dijauhi. Dalam mengomentari hadits di atas, Ibnu al-‘Arabiy berkata, “Tidak diperbolehkan seorang laki-laki melabuhkan kainnya melebihi mata kaki dan berkata tidak ada pahala jika karena sombong. Sebab, larangan isbal telah terkandung di dalam lafadz.

Tidak seorangpun yang tercakup di dalam lafadz boleh menyelisihinya dan menyatakan bahwa ia tidak tercakup dalam lafadz tersebut; sebab, ‘illatnya sudah tidak ada. Sesungguhnya, sanggahan semacam ini adalah sanggahan yang tidak kuat. Sebab, isbal itu sendiri telah menunjukkan kesombongan dirinya. Walhasil, isbal adalah melabuhkan kain melebihi mata kaki, dan melabuhkan mata kaki identik dengan kesombongan meskipun orang yang melabuhkan kain tersebut tidak bermaksud sombong.”
Mereka juga mengetengahkan riwayat-riwayat yang melarang isbal tanpa ada taqyiid.

Riwayat-riwayat itu diantaranya adalah sebagai berikut:
“Angkatlah sarungmu sampai setengah betis, jika engkau tidak suka maka angkatlah hingga di atas kedua mata kakimu. Perhatikanlah, sesungguhnya memanjangkan kain melebihi mata kaki itu termasuk kesombongan. Sedangkan Allah SWT tidak menyukai kesombongan.” [HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, dan at-Tirmidzi dari haditsnya Jabir bin Salim].

“Tatkala kami bersama Rasulullah Saw, datanglah ‘Amru bin Zurarah al-Anshoriy dimana kain sarung dan jubahnya dipanjangkannya melebihi mata kaki (isbal). Selanjutnya, Rasulullah Saw segera menyingsingkan sisi pakaiannya (Amru bin Zurarah) dan merendahkan diri karena Allah SWT. Kemudian beliau Saw bersabda, “Budakmu, anak budakmu dan budak perempuanmu”, hingga ‘Amru bin Zurarah mendengarnya. Lalu, Amru Zurarah berkata, “Ya Rasulullah sesungguhnya saya telah melabuhkan pakaianku melebihi mata kaki.” Rasulullah Saw bersabda, “Wahai ‘Amru, sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Wahai ‘Amru sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang yang melabuhkan kainnya melebihi mata kaki.” [HR. ath-Thabarni dari haditsnya Abu Umamah]

Hadits ini rijalnya tsiqah. Dzahir hadits ini menunjukkan bahwa ‘Amru Zurarah tidak bermaksud sombong ketika melabuhkan kainnya melebihi mata kaki.
Riwayat-riwayat ini memberikan pengertian, bahwa isbal yang dilakukan baik karena sombong atau tidak, hukumnya haram. Akan tetapi, kita tidak boleh mencukupkan diri dengan hadits-hadits seperti ini. Kita mesti mengkompromikan riwayat-riwayat ini dengan riwayat-riwayat lain yang di dalamnya terdapat taqyiid (pembatas) “khuyalaa’”. Kompromi (jam’u) ini harus dilakukan untuk menghindari penelantaran terhadap hadits Rasulullah Saw. Sebab, menelantarkan salah satu hadits Rasulullah bisa dianggap mengabaikan sabda Rasulullah Saw. Tentunya, perbuatan semacam ini adalah haram.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, yakni perkataan Rasulullah Saw kepada Abu Bakar ra (“Kamu bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.”), menunjukkan bahwa manath (obyek) pengharaman isbal adalah karena sombong. Sebab, isbal kadang-kadang dilakukan karena sombong dan kadang-kadang tidak karena sombong. Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar telah menunjukkan dengan jelas bahwa isbal yang dilakukan tidak dengan sombong hukumnya tidak haram.

Atas dasar itu, isbal yang diharamkan adalah isbal yang dilakukan dengan kesombongan. Sedangkan isbal yang dilakukan tidak karena sombong, tidaklah diharamkan. Imam Syaukani berkata, “Oleh karena itu, sabda Rasulullah Saw, ‘Perhatikanlah, sesungguhnya memanjangkan kain melebihi mata kaki itu termasuk kesombongan.’ [HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, dan at-Tirmidzi dari haditsnya Jabir bin Salim], harus dipahami bahwa riwayat ini hanya berlaku bagi orang yang melakukan isbal karena sombong. Hadits yang menyatakan bahwa isbal adalah kesombongan itu sendiri —yakni riwayat Jabir bin Salim—harus ditolak karena kondisi yang mendesak.

Sebab, semua orang memahami bahwa ada sebagian orang yang melabuhkan pakaiannya melebihi mata kaki memang bukan karena sombong. Selain itu, pengertian hadits ini (riwayat Jabir bin Salim) harus ditaqyiid dengan riwayat dari Ibnu ‘Umar yang terdapat dalam shahihain….Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah yang menyatakan bahwa Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang sombong hadir dalam bentuk muthlaq, sedangkan hadits yang lain yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar datang dalam bentuk muqayyad. Dalam kondisi semacam ini, membawa muthlaq ke arah muqayyad adalah wajib….”

Dari penjelasan Imam Syaukani di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa kesombongan adalah taqyiid atas keharaman isbal. Atas dasar itu, hadits-hadits yang memuthlaqkan keharaman isbal harus ditaqyiid dengan hadits-hadits yang mengandung redaksi khuyalaa’. Walhasil, isbal yang dilakukan tidak karena sombong, tidak termasuk perbuatan yang haram.

Tidak boleh dinyatakan di sini bahwa hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar tidak bisa mentaqyiid kemuthlakan hadits-hadits lain yang datang dalam bentuk muthlaq dengan alasan, sebab dan hukumnya berbeda. Tidak bisa dinyatakan demikian. Sebab, hadits-hadits tersebut, sebab dan hukumnya adalah sama. Topik yang dibicarakan dalam hadits tersebut juga sama, yakni sama-sama berbicara tentang pakaian dan cara berpakaian. Atas dasar itu, kaedah taqyiid dan muqayyad bisa diberlakukan dalam konteks hadits-hadits di atas.
[Tim Konsultan Ahli Hayatul Islam (TKAHI)]

Zikir Amalan Paling Utama



Dari abu darda dari nabi, beliau bersabda, “maukah kalian ku tunjukkan tentang sebaik-baik amalan dan juga amalan yang paling suci disisi Pemelihara kalian? Amalan yang dapat meninggikan derajat kalian dan lebih baik dari infak kalian dengan emas dan uang. Dan maukah aku tunjukkan kepada kalian amalan yang lebih baik dari kemampuan kalian mengalahkan musuh dengan menebas leher mereka dan mereka menebas leher kalian?” Para sahabat bertanya “Apakah itu wahai Rasulluhlah?” beliu menjawab “ yaitu zikir (mengingat allah).”
Zikir ada tiga macam :

1. Mengingat Allah dengan menyebut nama-Nya dan sifat-Nya dan juga menyanjung-Nya dalam zikir

2. Dengan bertasbih (menyucikan Allah), bertahmid (memuji nama-Nya) dan mengagungka-Nya. Itulah zikir yang paling sering dilakukan oleh ulama masa kini.

3. Yaitu zikir dengan hokum hokum nya, dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Zikir ini merupakan zikir para penuntut ilmu.

Allah berfirman :
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (taahaa: 124)


“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (ar-ra’d)


Termasuk juga zikir mengingat Allah ilalah berdoa dan meminta ampun dan merendah kepada allah.

Dikutip dari mutiara ibnul Qayyim al- jauziah