Sirah Sa’d bin Muadz

Selasa, 22 Desember 2009



Namanya adalah Sa’d bin Muadz bin an Nu’man bin Imri’ al Qais al Asyhali al Anshari radhiyallahu ‘anhu, seorang Sahabat yang memiliki kedudukan yang agung. Dia masuk Islam sebelum Hijrah melalui Ibnu Umair radhiyallahu ‘anhu. Ia pernah berkata kepada kaumnya, “Ucapan laki-laki dan perempuan kalian haram bagiku hingga kalian masuk Islam. Masuk Islamlah kalian! Sa’d bin Muadz radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang paling agung berkahnya bagi agama Islam.

Sa’d bin Muadz radhiyallahu ‘anhu ikut andil dalam perang Badar. Beliau terkena lemparan anak panah pada perang Khandaq dan ia hidup sebulan. Kemudian, setelah memberikan keputusan hukum bagi bani Quraidzah, lukanya semakin membengkak dan wafat pada tahun kelima Hijrah.

Keberadaan di sisi Rasulullah juga memberikan kekuatan bagi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Dalam sebuah syair disebutkan:

“Jika dua Sa’d masuk Islam

Maka Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam di Mekkah tidak takut terhadap perbuatan orang yang menyelisihi.”

(maksudnya adalah Sa’d bin Ubadah, pembesar suku Khazraj dan Sa’d bin Muadz pembesar suku Aus)

Peran Sa’d Dalam Memberikan Keputusan Terhadap Bani Quraidzah

Dalam kitab Fathul Bari, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan: Sa’d bin Muadz radhiyallahu ‘anhu terkena lemparan anak panah pada urat nadi tangannya oleh seorang Quraisy yang bernama Hibban bin al Ariqah/Hibban bin Qais dari bani Maish bin Amir bin Luay. Lalu Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pun membangun tenda untuk Sa’d radhiyallahu ‘anhu di masjid, agar beliau bisa menjenguknya dari dekat.”

Selanjutnya Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan: Tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pulang dari khandaq, beliau meletakkan senjatanya lalu mandi. Kemudian datanglah seseorang (Jibril).” (dalam riwayat lain: Seseorang memberikan salam kepada kepada kam. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam terkejut lalu berdiri, aku juga berdiri. Ternyata dia adalah Dihyatul Kalbi. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ini adalah Jibril.” Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda: “Ia datang kepadaku untuk menyuruhku pergi kepada bani Quraidzah.”). Kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam membersihkan debu-debu yang ada di muka Jibril. Jibril berkata, “Engkau telah meletakkan senjatamu. Demi Allah azza wa jalla, aku belum meletakkan senjataku. Keluarlah kepada mereka!” Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Kemana?” Kemudian Jibril mengisyaratkan kepada bani Quraidzah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pun keluar setelah itu. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengepung mereka selama 15 atau 25 malam. (lihat al Fath 9/212-216). Pengepungan tersebut membuat mereka merasa berat dan Allah azza wa jalla juga menanamkan rasa takut kedalam hati mereka.

Dalam kondisi demikian, yaitu mereka merasa yakin bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dan pasukannya tidak akan pergi meninggalkan mereka; pemimpin mereka Ka’b bin Asad berkata kepada mereka, “Wahai kaum Yahudi! Sesungguhnya keadaan kalian adalah seperti yang kalian lihat sekarang. Aku tawarkan kepada kalian tiga hal, pilihlah mana yang kalian suka!” Mereka bertanya, “Apa saja itu?” Ka’b menjawab,”Pertama: kita mengikuti lelaki ini (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) dan beriman kepadanya. Demi Allah, kalian sudah tahu bahwa dia adalah seorang nabi yang diutus kepada kalian. Sungguh, dialah lelaki yang telah disebutkan dalam kitab kalian. Jika kalian bersedia, maka darah, harta benda, anak-anak dan istri-istri kalian akan aman.” Mereka menjawab,”Kami tidak akan meninggalkan hukum Taurat selamanya dan kami tidak akan mengambil hukum selainnya.” Lalu Ka’b berkata,”Kalian tidak setuju dengan usulan ini, maka usulan Kedua: mari kita bunuh anak-anak dan istri kita. Kemudian kita keluar mengangkat pedang melawan Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dan para Sahabatnya. Kita tidak akan meninggalkan beban di belakang kita. Hingga Allah memberi keputusan antara kita dan mereka. Jika kita binasa, maka selesailah urusannya! Kita tidak meninggalkan keturunan yang kita khawatirkan. Dan jika kita menang, maka demi Allah, kalian pasti akan mendapatkan wanita dan anak-anak lagi.” Mereka menjawab,”Kita akan bunuh orang-orang lemah ini?! Jika kita bunuh mereka, maka kesenangan hidup apalagi bagi kita setelah kehilangan mereka?” Ka’b menjawab.”Jika kalian enggan dengan ini, maka usulan ketiga: pada sabtu malam, mungkin Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dan para Sahabatnya akan memberikan keamanan kepada kita. Maka menyerahlah! Mudah-mudahan kita bisa mengintai Muhammad dan pasukannya. Mereka mengatakan,”(jika demikian) berarti kita mengotori hari sabtu kita dan melakukan suatu yang tidak pernah dilakukan pendahulu kita kecuali orang yang telah engkau tahu, sehingga mereka tertimpa musibah yang sudah kita pahami bersama.” Kemudian Ka’b berkata dengan nada tinggi karena marah,”Sejak kalian dilahirkan, kalian tidak pernah memiliki pendirian yang teguh walau hanya semalam.”

Akhirnya, kemudian mereka mengirim utusan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan pesan,”Utuslah Abu Lubabah bin Abdul Mundzir, saudara bani Auf agar menemui kami. Kami akan meminta pendapatnya.” Dulu mereka adalah sekutu suku Aus. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengutusnya. Saat melihat kedatangan Abu Lubabah, semua laki-laki bangkit dan mengeruminya sedangkan wanita dan anak-anak menangis dihadapannya. Abu Lubabah sangat iba melihat keadaan mereka. Mereka berkata”Wahai Abu Lubabah, apakah kami harus tunduk kepada keputusan Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam?” Dia menjawab,”Begitulah.” Sambil memberi isyarat dengan tangannya yang diletakkan di leher yang maksudnya: jika kalian tunduk kepada hukum Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, kalian akan di hukum mati. Setelah itu Abu Lubabah sadar bahwa ia telah mengkhianati Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Seketika itu dia berbalik dan tidak menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tapi langsung mengikat tubuhnya di salah satu tiang masjid. Ia berkata,”Aku tidak akan meninggalkan tempatku hingga Allah ta’ala memberi taubat kepadaku terhadap semua yang telah aku lakukan.” (Lihat as Siratun Nabawiyah, Ibnu Hisyam hal.793-794)

Ibnu Ishak rahimahullah menyebutkan: “Tatkala pengepungan sudah sangat ketat, mereka pun terpaksa tunduk kepada hukm Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Melihat kondisi ini suku Aus berkata kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah engkau telah memperlakukan sekutu Khazraj dengan perlakuan yang telah engkau putuskan (engkau maafkan, kenapa engkau tidak memaafkan bani Quraidzah-red).” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Apakah kalian tidak rela salah seorang diantara kalian menetapkan hukuman buat bani Quraidzah?” Mereka menjawab,”Ya” maka beliau berkata,”Serahkanlah kepada Sa’d.”

Dalam banyak kitab sirah disebutkan bahwa mereka tunduk dengan hukum Sa’d radhiyallahu ‘anhu; dan telah disepakati bawah mereka telah tunduk kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sebelum tunduk kepada hukum Sa’d radhyallahu ‘anhu. Alqamah bin Waqash radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa tatkala kondisi dan situasi serasa berat bagi mereka, seseorang memerintahkan,”Tunduklah kalian kepada keputusan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam!” Tatkala mereka meminta petunjuk kepada Abu Lubabah, ia menjawab,”Kita tunduk kepada hukum Sa’d bin Muadz radhiyallahu ‘anhu.” Setelah itu Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengembalikan hukum kepada Sa’d bin Muadz radhiyallahu ‘anhu.

Kemudian Sa’d radhiyallahu ‘anhu berkata,”Dalam hal ini aku memutuskan agar prajurit bani Quraidzah dibunuh; para wanita & anak-anak ditawan dan harta bendanya dibagi-bagikan.”

Hisyam (seorang perawi) mengatakan,”Ayahku menceritakan kepadaku dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Sa’d radhiyallahu ‘anhu pernah berdoa kepada Allah azza wa jalla, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah mengetahui bahwa tidak ada suatu kaum pun yang lebih suka aku perangi daripada mereka yang telah mendustakan dan mengusir Rasul-Mu. Ya Allah, aku mengira Engkau telah menghentikan peperangan antara kami dan mereka. Jika masih ada lagi peperangan dengan mereka, maka panjangkan usiaku hingga aku bisa berperang karena-Mu. Dan jika Engkau telah menghentikan peperangan, maka parahkanlah lukaku dan takdirkanlah kematianku saat itu.”

Kemudian lukanya pun bertambah parah. Tidak ada sesuatu yang mengejutkan penghuni kemah bani Ghifar (penghuni masjid) tatkala itu, melainkan darah yang terus mengalir menuju mereka. Mereka bertanya,”Wahai penghuni tenda, apa ini yang mengalir menuju kami dari arah kalian?” Tiba-tiba darah itu mengalir semakin cepat dan Sa’d radhiyallahu ‘anhu pun meninggal dunia.” [Lihat al Fath 9/213]

Dalam riwayat disebutkan bahwa ketika jenazahnya berada di hadapan manusia, orang-orang munafikin mengatakan,”Sungguh ringan sekali jenazahnya.” Kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,”Sesungguhnya para malaikat membawa jenazahnya, dan arsy Allah azza wa jalla bergoncang karenanya.”

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

“Singgasana Allah azza wa jalla bergoncang karena kematian Sa’d bin Muadz.” [HR.al Bukhari]

Maraji’:

1. Kitab Fadhailul Sahabah Lil Imam Ahmad hal.1029
2. Kitab Shahihul Musnad min Fadhailil Sahabah hal.267
3. Kitab Sirah Nabawiyah Ibni Hisyam hal.793-794

Sumber:

Diketik ulang dari Majalah as Sunnah Edisi 04 Thn.XIII, Rajab 1430/Juli 2009, Rubrik Baituna hal.8-9

Dipublikasikan kembali oleh : http://alqiyamah.wordpress.com

Hukum Mengenakan Celana Panjang




Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan


Pertanyaan:
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Bolehkah seorang pria ataupun wanita melaksanakan shalat dengan menggunakan celana panjang ? Jika wanita mengenakan pakaian tipis namun tidak menampakkan auratnya, apa hukumnya ?

Jawaban:
Pakaian sempit yang menampakkan bentuk tubuh wanita dan potongan badannya tidak boleh dipakai. Pakaian sempit ini tidak boleh dipakai baik oleh wanita maupun pria, akan tetapi wanita lebih dilarang, karena fitnah yang ditimbulkannya bisa lebih besar.

Sedangkan shalat yang dilakukan dengan mengenakan pakaian sempit dan menutup seluruh badannya, tetap sah karena telah memenuhi syarat menutup. Akan tetapi pelakunya berdosa karena ada syarat shalat yang tidak sempurna dikarekanakan pakaiannya yang sempit tersebut. Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, akan menjadi pengundang fitnah dan mendorong orang melihat kepadanya, apalagi bila yang mengenakannya adalah wanita.

Oleh karena itu, diwajibkan bagi wanita untuk menutup tubuhnya dengan pakaian yang lebar yang tidak menampakkan bentuk tubuhnya, tidak menyebabkan pandangan orang tertuju padanya dan tidak pula tipis dan transparan. Akan tetapi haruslah pakaian yang menutup auratnya secara sempurna, tidak menampakkan tubuhnya, tidak pendek yang menampakkan betis, pergelangan atau telapak tangannya dan tidak menampakkan wajah di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya. Tidak boleh dia mengenakan pakaian yang tipis, yang bisa menampakkan tubuh dan warna kulitnya, karena pakaian itu tidak dianggap sebagai pakaian penutup aurat.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mejelaskan tentang hal ini dalam hadits shahih, beliau bersabda.

“Artinya : Ada dua golongan ahli neraka dari umatku, saya tidak melihat mereka sebelumnya, suatu kaum yang memegang cambuk seperti ekor sapi yang dipakai untuk mencambuki manusia dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, sesat dan menyesatkan, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga”.

Yang dimaksud dengan “kasiyatun’ (berpakaian) bahwasanya mereka mengenakan pakaian, akan tetapi pada dasarnya ‘’aariyatun” (telanjang) karena pakaiannya tidak menutup auratnya, karena bentuknya saja yang bisa disebut pakaian, tapi tidak menutup bagian yang harusnya tetutupi,baik karena tipisnya, karena pendeknya atau karena sempit dan menampakkan bentuk tubuh. Maka bagi para wanita hendaknya berhati-hati dalam masalah ini.

[Al-Muntaqa min Fatawa Syaikh Shalih-Al-Fauzan, juz 3 hal.308-309]

Hukum Isbal

Senin, 21 Desember 2009



hayatulislam.net – Soal: Ustadz yang terhormat, saya mau nanya tentang hukum isbal. Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa isbal dianggap salah satu dosa besar yang diancam dengan ancaman yang keras. Mohon penjelasannya.

Jawab:
Dari Ibnu ‘Umar diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Barangsiapa memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat.” Kemudian Abu Bakar bertanya, “Sesungguhnya sebagian dari sisi sarungku melebihi mata kaki, kecuali aku menyingsingkannya.” Rasulullah Saw menjawab, “Kamu bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.” [HR. Jama’ah, kecuali Imam Muslim dan Ibnu Majah dan Tirmidizi tidak menyebutkan penuturan dari Abu Bakar.]

Dari Ibnu ‘Umar dituturkan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda:
“Isbal itu bisa terjadi pada sarung, sarung dan jubah. Siapa saja yang memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah swt tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat.” [HR. Abu Dawud, an-Nasa`i, dan Ibnu Majah]

Kata khuyalaa’ berasal dari wazan fu’alaa’. Kata al-khuyalaa’, al-bathara, al-kibru, al-zahw, al-tabakhtur, bermakna sama, yakni sombong dan takabur.
Mengomentari hadits ini, Ibnu Ruslan dari Syarah al-Sunan menyatakan, “Dengan adanya taqyiid “khuyalaa’” (karena sombong) menunjukkan bahwa siapa saja yang memanjangkan kainnya melebihi mata kaki tanpa ada unsur kesombongan, maka dirinya tidak terjatuh dalam perbuatan haram. Hanya saja, perbuatan semacam itu tercela (makruh).”
Imam Nawawi berkata, “Hukum isbal adalah makruh. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Syafi’iy.”

Imam al-Buwaithiy dari al-Syafi’iy dalam Mukhtasharnya berkata, “Isbal dalam sholat maupun di luar sholat karena sombong dan karena sebab lainnya tidak diperbolehkan. Ini didasarkan pada perkataan Rasulullah Saw kepada Abu Bakar ra.”
Namun demikian sebagian ‘ulama menyatakan bahwa khuyala’ dalam hadits di atas bukanlah taqyiid. Atas dasar itu, dalam kondisi apapun isbal terlarang dan harus dijauhi. Dalam mengomentari hadits di atas, Ibnu al-‘Arabiy berkata, “Tidak diperbolehkan seorang laki-laki melabuhkan kainnya melebihi mata kaki dan berkata tidak ada pahala jika karena sombong. Sebab, larangan isbal telah terkandung di dalam lafadz.

Tidak seorangpun yang tercakup di dalam lafadz boleh menyelisihinya dan menyatakan bahwa ia tidak tercakup dalam lafadz tersebut; sebab, ‘illatnya sudah tidak ada. Sesungguhnya, sanggahan semacam ini adalah sanggahan yang tidak kuat. Sebab, isbal itu sendiri telah menunjukkan kesombongan dirinya. Walhasil, isbal adalah melabuhkan kain melebihi mata kaki, dan melabuhkan mata kaki identik dengan kesombongan meskipun orang yang melabuhkan kain tersebut tidak bermaksud sombong.”
Mereka juga mengetengahkan riwayat-riwayat yang melarang isbal tanpa ada taqyiid.

Riwayat-riwayat itu diantaranya adalah sebagai berikut:
“Angkatlah sarungmu sampai setengah betis, jika engkau tidak suka maka angkatlah hingga di atas kedua mata kakimu. Perhatikanlah, sesungguhnya memanjangkan kain melebihi mata kaki itu termasuk kesombongan. Sedangkan Allah SWT tidak menyukai kesombongan.” [HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, dan at-Tirmidzi dari haditsnya Jabir bin Salim].

“Tatkala kami bersama Rasulullah Saw, datanglah ‘Amru bin Zurarah al-Anshoriy dimana kain sarung dan jubahnya dipanjangkannya melebihi mata kaki (isbal). Selanjutnya, Rasulullah Saw segera menyingsingkan sisi pakaiannya (Amru bin Zurarah) dan merendahkan diri karena Allah SWT. Kemudian beliau Saw bersabda, “Budakmu, anak budakmu dan budak perempuanmu”, hingga ‘Amru bin Zurarah mendengarnya. Lalu, Amru Zurarah berkata, “Ya Rasulullah sesungguhnya saya telah melabuhkan pakaianku melebihi mata kaki.” Rasulullah Saw bersabda, “Wahai ‘Amru, sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Wahai ‘Amru sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang yang melabuhkan kainnya melebihi mata kaki.” [HR. ath-Thabarni dari haditsnya Abu Umamah]

Hadits ini rijalnya tsiqah. Dzahir hadits ini menunjukkan bahwa ‘Amru Zurarah tidak bermaksud sombong ketika melabuhkan kainnya melebihi mata kaki.
Riwayat-riwayat ini memberikan pengertian, bahwa isbal yang dilakukan baik karena sombong atau tidak, hukumnya haram. Akan tetapi, kita tidak boleh mencukupkan diri dengan hadits-hadits seperti ini. Kita mesti mengkompromikan riwayat-riwayat ini dengan riwayat-riwayat lain yang di dalamnya terdapat taqyiid (pembatas) “khuyalaa’”. Kompromi (jam’u) ini harus dilakukan untuk menghindari penelantaran terhadap hadits Rasulullah Saw. Sebab, menelantarkan salah satu hadits Rasulullah bisa dianggap mengabaikan sabda Rasulullah Saw. Tentunya, perbuatan semacam ini adalah haram.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, yakni perkataan Rasulullah Saw kepada Abu Bakar ra (“Kamu bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.”), menunjukkan bahwa manath (obyek) pengharaman isbal adalah karena sombong. Sebab, isbal kadang-kadang dilakukan karena sombong dan kadang-kadang tidak karena sombong. Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar telah menunjukkan dengan jelas bahwa isbal yang dilakukan tidak dengan sombong hukumnya tidak haram.

Atas dasar itu, isbal yang diharamkan adalah isbal yang dilakukan dengan kesombongan. Sedangkan isbal yang dilakukan tidak karena sombong, tidaklah diharamkan. Imam Syaukani berkata, “Oleh karena itu, sabda Rasulullah Saw, ‘Perhatikanlah, sesungguhnya memanjangkan kain melebihi mata kaki itu termasuk kesombongan.’ [HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, dan at-Tirmidzi dari haditsnya Jabir bin Salim], harus dipahami bahwa riwayat ini hanya berlaku bagi orang yang melakukan isbal karena sombong. Hadits yang menyatakan bahwa isbal adalah kesombongan itu sendiri —yakni riwayat Jabir bin Salim—harus ditolak karena kondisi yang mendesak.

Sebab, semua orang memahami bahwa ada sebagian orang yang melabuhkan pakaiannya melebihi mata kaki memang bukan karena sombong. Selain itu, pengertian hadits ini (riwayat Jabir bin Salim) harus ditaqyiid dengan riwayat dari Ibnu ‘Umar yang terdapat dalam shahihain….Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah yang menyatakan bahwa Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang sombong hadir dalam bentuk muthlaq, sedangkan hadits yang lain yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar datang dalam bentuk muqayyad. Dalam kondisi semacam ini, membawa muthlaq ke arah muqayyad adalah wajib….”

Dari penjelasan Imam Syaukani di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa kesombongan adalah taqyiid atas keharaman isbal. Atas dasar itu, hadits-hadits yang memuthlaqkan keharaman isbal harus ditaqyiid dengan hadits-hadits yang mengandung redaksi khuyalaa’. Walhasil, isbal yang dilakukan tidak karena sombong, tidak termasuk perbuatan yang haram.

Tidak boleh dinyatakan di sini bahwa hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar tidak bisa mentaqyiid kemuthlakan hadits-hadits lain yang datang dalam bentuk muthlaq dengan alasan, sebab dan hukumnya berbeda. Tidak bisa dinyatakan demikian. Sebab, hadits-hadits tersebut, sebab dan hukumnya adalah sama. Topik yang dibicarakan dalam hadits tersebut juga sama, yakni sama-sama berbicara tentang pakaian dan cara berpakaian. Atas dasar itu, kaedah taqyiid dan muqayyad bisa diberlakukan dalam konteks hadits-hadits di atas.
[Tim Konsultan Ahli Hayatul Islam (TKAHI)]

Zikir Amalan Paling Utama



Dari abu darda dari nabi, beliau bersabda, “maukah kalian ku tunjukkan tentang sebaik-baik amalan dan juga amalan yang paling suci disisi Pemelihara kalian? Amalan yang dapat meninggikan derajat kalian dan lebih baik dari infak kalian dengan emas dan uang. Dan maukah aku tunjukkan kepada kalian amalan yang lebih baik dari kemampuan kalian mengalahkan musuh dengan menebas leher mereka dan mereka menebas leher kalian?” Para sahabat bertanya “Apakah itu wahai Rasulluhlah?” beliu menjawab “ yaitu zikir (mengingat allah).”
Zikir ada tiga macam :

1. Mengingat Allah dengan menyebut nama-Nya dan sifat-Nya dan juga menyanjung-Nya dalam zikir

2. Dengan bertasbih (menyucikan Allah), bertahmid (memuji nama-Nya) dan mengagungka-Nya. Itulah zikir yang paling sering dilakukan oleh ulama masa kini.

3. Yaitu zikir dengan hokum hokum nya, dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Zikir ini merupakan zikir para penuntut ilmu.

Allah berfirman :
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (taahaa: 124)


“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (ar-ra’d)


Termasuk juga zikir mengingat Allah ilalah berdoa dan meminta ampun dan merendah kepada allah.

Dikutip dari mutiara ibnul Qayyim al- jauziah

Kenikmatan Surga Paling Mulia



Sesungguhnya kenikmatan surga yang paling mulia adalh memandang wajah Allah, mendengar percakapan-Nya, sebagaimana yang tertera di dalam kitab shahih muslim. Dari syuaib , dari nabi “wahai penghuni surge sesungguhnya Allah punya janji kepada kalian. Apakah kalian ingin mengetahui janji tersebut?” Mereka bertanya , “Apakah itu? Bukannya Allah telah membuat wajah kami bersinar? Allah juga memberatkan timbangan kebaikan kami, memasukkan kami ke dalam surge dan menghindarkan kami dari api neraka ?” kemudian, Allah menyingkapkan tabir dari wajah-Nya, sehingga para penghuni surga dapat memandang wajah Allah, dan tidaklah nikmat lebih baik yang diperoleh penghuni surga selain memandang wajah Allah yang mulia.

Sebagaimana Allah juga mengumpulkan bagi para kekasih-Nya dua kenikmatan, yaitu kenikmatan surga dan dapat melihat wajah Alla SWT secara langsung.
Alangkah bahagia orang mendapat kemuliaan yang besar. Yaitu kemuliaan memandang wajah Allah. Kita memohon kepada Allah semoga Allah mengumpulkan kita dari kalangan hamba-hamba-yang Allah firmankan didalam Al-Qur’an

“sesungguhnya orang-orang baik berada di dalam surga Na’im. Di atas dipan-dipan mereka melihat (wajah Allah)” (Al-muttaffifin: 22-23)

Dikutip dari mutiara ibnul Qayyim al- jauziah

Kunci-kunci Perkara



Sesungguhnya setiap pintu itu pasti ada kuncinya dan perkara dunia juga ada kuncinya masing-masing :

• Kunci surga adalah tauhid

• Kunci sholat adalah kesucian

• Kunci ibadah haji adalah ihrom

• Kunci kebaikan adalah jujur

• Kunci ilmu adalah bertanya dan menyimak dengan baik

• Kunci pertolongan adalah sabar

• Kunci bertambahnya rezeki adalah syukur

• Kunci diijabahinya permintaan adalah doa

• Kunci kemuliaan adalah taat kepada Allah dan Rosul-Nya

• Kunci semua kebaikan adalah mencintai Allah dan mendahulukan Akhirat

• Kunci kejelekan adalah cinta dunia dan panjang angan-angan

Dikutip dari mutiara ibnul Qayyim al- jauziah

Surat Dari Akhwat

Jumat, 18 Desember 2009




Mewakili semua suara akhwat...!!! -fwd dr milis-
- ini adalah kisah yang sudah sangat melegenda:

- Tentang Julius Caesar, kaisar Romawi yang rela kehilangan kehormatan, kesetiaan dan bahkan negaranya demi si Ratu Penggoda:Cleopatra.
Semua dia lakukan (kata ahli sejarah)...atas nama cinta

- Ini kisah tentang pemuda bernama Romeo, demi seorang wanita, rela kehilangan keluarga, dan tentu saja nyawa... tetap saja:atas nama cinta -

Satu lagi, seorang janda bernama Khadijah, yang rela mengorbankan segalanya demi membela pemuda bernama Muhammad, yang dia yakini
membawa risalah Tuhannya.

Ini juga :atas nama cinta kata Jalaluddin Rumi: cinta akan membuat yang pahit menjadi manis dan dengan cinta tembaga menjadi emas dengan cinta yang keruh menjadi jernih dan dengan cinta, sakit menjadi obat dengan cinta yang mati akan menjadi hidup dan cintalah yang menjadikan seorang raja menjadi hamba sahaya dari pengetahuanlah cinta seperti tumbuh..

afwan, aku bukan pujangga yang hendak membahas tentang cinta. Aku juga tidak sedang mencampuri urusan orang lain (Aku hanya ingin memposisikan diri sebagai seorang saudara.. yang wajib hukumnya untuk mengingatkan saudaranya yang mungkin...salah langkah.

Bila aku salah, atau .. artikel ini tak berkenan, mohon maaf.

Itu saatnya aku untuk dikritisi...
aku ingin bicara atas nama wanita, terlebih akhwat (kalau boleh sih)
tolong untuk para ikhwan (atau yang merasa sebagai muslim):

wanita adalah makhluk yang sempit akal danmudah terbawa emosi. Terlepas bahwa aku tidak suka pernyataan tersebut, but itu fakta. Sangat mudah membuat wanita bermimpi.

Tolong, berhentilah memberi angan-angan kepada kami.Mungkin kami akan melengos kalau disapa. Atau membuang muka kalau dipuji. But, jujur saja,
ada perasaan bangga. Bukan suka pada antum (mungkin) but suka karena diperhatikan "lebih".

Diantara kami, ada golongan Maryam yang pandai menjaga diri. Tetapi tidak semua kami mempunyai hati suci. jangan antum tawarkan sebuah ikatan bernama ta"aruf bila antum benar-benar belum siap akan konsekuensinya. sebuah ikatan ilegal yang bisa jadi berumur tak cuma dalam hitungan bulan tetapi menginjak usia tahun, tanpa kepastian kapan akan dilegalkan.

Tolong, pahami arti cinta seperti pemahaman

Umar Al Faruq: seperti induk kuda yang melangkah hati-hati karena takut
menginjak anaknya (afwan, bener ini ya riwayatnya?). Bukan mengajak kami ke bibir neraka. Dengan SMS-SMS mesra, telepon sayang, hadiah-hadiah ungkapan cinta dan kunjungan pemantapan yang dibungkus sebuah
label:ta"aruf.

Tolong, kami hanya ingin menjaga diri. Menjaga amal kami tetap tertuju
padaNYA.Karena janji Allah itu pasti. Wanita baik hanya diperuntukkan laki-laki
baik. jangan ajak mata kami berzina dengan memandangmu jangan ajak telinga kami berzina dengan mendengar pujianmu jangan ajak tangan kami berzina dengan menerima hadiah kasih sayangmu jangan ajak kaki kami berzina dengan mendatangimu jangan ajak hati kami berzina dengan berkhalwat denganmu ada beda... persahabatan sebagai saudara, dengan hati yang sudah terjangkiti virus..... beda itu bernama "rasa" dan "pemaknaan" Bukan, bukan seperti itu yang dicontohkan Rasulullah

antum memang bukan Mush"ab
antum juga tak sekualitas Yusuf as.
tetapi antum bukan Arjuna
dan tak perlu berlagak seperti Casanova
karena Islam sudah punya jalan keluar yang indah:
segeralah menikah atau jauhi wanita dengan puasa. Tolong, sebelum antum memutuskan untuk mendatangi kami jawab dulu pertanyaan ini dengan jujur:

- setelah 3 bulan antum mendatangi dan menyatakan cinta, antum masih belum siap untuk mengikrarkan dalam sebuah pernikahan?

- ataukah antum masih butuh waktu lebih lama dan meminta kami menunggu,
dengan alasan yang tidak syar"i dan terlalu duniawi?
kalau jawabannya "YA",:
"SELAMAT"

berarti antum lebih pantas masuk surga dibandingkan Ali bin Abi Thalib as.
Dia baru berani mengatakan cinta kepada Fathimah, setelah menikah. Ali,
pemuda kesayangan Rasul, tetapi menunggu waktu bertahun-tahun untuk
mengatakannya. Bukan karena dia pengecut tentu saja justru karena dia adalah laki-laki kualitas surga...

Tolong, kami tidak ingin menyakiti hati calon suami kami yang sebenarnya.
Mereka berusaha untuk menjaga hijab, agar datang kepada kami dalam kondisi suci hati, tetapi kami malah menjajakan cinta kepada laki-laki yang belum tentu menjadi suami kami.

atau antum sekarang sudah berani menjamin bahwa antum adalah calon suami kami sebenarnya? maaf, wanita itu lemah dan mudah ditaklukkan. sebagai saudara kami, tolong, jaga kami. karena kami akan kuat menolak rayuan preman, but bisa jadi kami lemah dengan surat cinta kalian.

Bukankah akan lebih indah bila kita bertemu dengan jalan yang diberkahiNYA?

Bukankah lebih membahagiakan bila kita diertemukan dalam kondisi diridhoiNYA?

Menjadi Muslim Kaffah

Kamis, 17 Desember 2009


Seorang muslim wajib masuk Islam secara kaffah, yaitu masuk ke dalam segala syariat dan hukum Islam secara keseluruhan, bukan berislam sebagian dan mengambil selain syariat Islam untuk sebagian lainnya.
Jika seorang muslim melaksanakan Islam sebagian seraya melaksanakan selain Islam pada sebagian lainnya, itu berarti dia mengikuti langkah-langkah syaitan yang terkutuk. Firman Allah SWT:

“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (Qs al-Baqarah [2]: 208).


Sebab turunnya (sababun nuzul) ayat ini, sesuai riwayat dari Ibnu Abbas berkaitan dengan Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya –para shahabat yang masuk Islam dan dulunya adalah pemeluk Yahudi— yang telah beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan syariat Islam yang dibawa beliau, akan tetapi tetap mempertahankan keyakinan mereka kepada sebagian syariat Nabi Musa AS. Misalnya, mereka tetap menghormati dan mengagungkan hari Sabtu serta membenci daging dan susu unta. Hal ini telah diingkari oleh shahabat-shahabat Rasulullah SAW lainnya. Abdulah bin Salam dan kawan-kawannya berkata kepada Nabi SAW, “Sesungguhnya Taurat adalah kitabullah. Maka biarkanlah kami mengamalkannya.” Setelah itu, turunlah firman Allah surat al-Baqarah [2]: 208 di atas (Majalah Al Wa’ie, no. 159, Rabiuts Tsani, 1421, hal. 14).
Jadi, siapa saja yang telah masuk Islam, dia wajib masuk Islam secara keseluruhannya. Tidak boleh mempertahankan hukum selain Islam, sebab Islam telah menasakh (menghapus) syariat-syariat para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Allah SWT berfirman:

“(Al-Qur`an itu) membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.” (Qs. al-Maa'idah [5]: 48).

Yang dimaksud batu ujian (muhaiminan) artinya adalah penghapus (nasikhan) bagi syariat-syariat sebelumnya. Dengan demikian, mempertahankan sedikit saja dari syariat-syariat sebelumnya –yang tidak diakui Islam—berarti mengikuti langkah-langkah syaitan. Firman Allah SWT:

“…dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 208).

Makna-makna inilah yang telah dikemukan oleh para ahli tafsir terpercaya. Secara lebih mendalam, Imam Ibnu Katsir menfasirkan ayat di atas (2: 208) dengan menyatakan,

“Allah SWT memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin dan mempercayai Rasul-Nya, untuk mengambil seluruh ikatan dan syari'at Islam, mengerjakan seluruh perintah-Nya serta meninggalkan seluruh larangan-Nya, sesuai kemampan mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, Juz I, hal. 247).

Sejalan dengan ini, Imam An-Nasafi, menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah berserah diri dan ta'at, yakni berserah diri dan ta'at kepada Allah atau Islam. Menurutnya, kata “kaaffah” adalah haal (penjelasan keadaan) dari dlomir (kata ganti) udkhulu (masuklah kalian) yang bermakna jamii'an (menyeluruh/semuanya, dari kalangan kaum mukminin). Diriwayatkan dari Ikrimah, firman Allah di atas diturunkan pada kasus Tsa'labah, 'Abdullah bin Salam, dan beberapa orang Yahudi yang lain yang telah masuk Islam.
Mereka mengajukan konsensi kepada nabi untuk diijinkan beribadah di hari Sabtu. sebagai hari besar orang Yahudi (hari Sabath). Kemudian dijawab oleh Allah dengan ayat di atas. (Tafsir Al-Nasafi, Madarik al-Tanziil wa Haqaaiq al-Ta`wil, Juz I, hal.112). Imam Thabari mengutip dari Ikrimah, bahwa ta'wil ayat di atas adalah seruan kepada orang-orang mu'min untuk menolak semua hal yang bukan dari hukum Islam; melaksanakan seluruh syari'at Islam, dan menjauhkan diri dari upaya-upaya untuk melenyapkan sesuatu yang merupakan bagian dari hukum-hukum Islam. (Tafsir al-Thabariy, Jilid II, hal. 337).
Imam Qurthubi menjelaskan bahwa lafadz kaaffah adalah sebagai haal (penjelasan keadaan) dari lafadz al-silmi atau dari dlomir mu'minin. Sedangkan pengertian kaaffah adalah jamii'an (menyeluruh) atau 'aamatan (umum). (Tafsir Qurthubiy, Juz III hal. 18). Bila kedudukan lafadz kaaffah sebagai haal dari lafadz al-silmi maka tafsir dari ayat tersebut adalah Allah SWT menuntut orang-orang yang masuk Islam untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhan (total). Tanpa ada upaya memilih maupun memilah sebagian hukum Islam untuk tidak diamalkan.
Pemahaman ini diperkuat dengan sababun nuzul (sebab turunnya) ayat tersebut yang mengisahkan ditolaknya dispensasi beberapa orang Yahudi, ketika mereka hendak masuk Islam. Tentunya hal semacam ini bukan hanya untuk orang yang mau masuk Islam saja, akan tetapi juga berlaku untuk orang-orang mu'min sebagaimana penjelasan Ibnu Jarir al-Thabari yang mengutip tafsir (penjelasan) dari Ikrimah di atas.
Oleh karena itu, kaum muslimin diperintahkan untuk hanya berserah diri, ta'at, dan melaksanakan seluruh syari'at Nabi Muhammad SAW (yakni Islam), bukan pada aturan-aturan lain.
Dengan demikian, jelaslah, seorang muslim dituntut masuk ke dalam Islam secara menyeluruh. Merupakan kesesatan yang nyata, apabila ada orang yang mengaku dirinya Islam, namun mereka mengingkari atau mencampakkan sebagian syari'at Islam dari realitas kehidupan –seperti mengikuti sekulerime. Al-Qur'an dengan tegas mengecam sikap semacam ini, firman Allah SWT:

“...Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab (Taurat) serta mengingkari sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat nanti mereka akan dilemparkan pada siksa yang amat keras.” (Qs. al-Baqarah [2]: 85). [ ]

5 Cara Menghilangkan Stress

Rabu, 16 Desember 2009



Stress nerupakan reaksi tubuh terhadap situasi yang tampak berbahaya sehingga stress membuat tubuh memproduksi hormone adrenaline yang berfungsi untuk mempertahankan diri. Dan merupakan bagian dari kehidupan manusia. Tapi bila berlebihan akan membuat tubuh gelisah, tegang , sakit kepala, lupan diare dan lain2. Berikut tips agar dapat menjadi pribadi tangguh menghadapi masalah :
1. Paham tujuan hidup
Sejatinya kita umat muslim tahu bahwa kita hidup di dunia untuk beribadah kepada Allah (adz-Dzariat : 56 ) dan hidup dan mati kita hanya untuk Allah ( Al-An’am : 162 ) dengan itu kita punya pijakan yanag jelas dan hidup terasa enteng .
2. Paham Nilai dunia
“ kehidupan dunia itu tidak lain adalah kesenangan yang memperdayakan (Ali Imron : 185 ) jadi jangan terlalu repot dan bersusah payah untuk mendapatkan dunia.
3. Tawakal, Syukur dan Sabar
Dgn tawakal yaiu ikhtiar dan Doa kita menyerahkan hasil akhirnya kepada Allah dan kita yakin itulah yang terbaik. Dengan syukur apa yang kita terima saat ini tidak menjadikan kita gelisah. Dan dengan sabar kita bisa mengatasi masalah tanpa menggunakan emosi.
4. Paham takdir
Dengan memahami takdir kita akan percaya ke Maha Kuasaan Allah dan Ke Maha AdilanNya. Dalam kondisi sepahit apapun kita tetap menggantungkan hidup kita kepada Allah.
5. Memaknai harta secara benar
“ sesungguhnya umat ini memiliki cobaan dan cobaan umatku adalah harta benda” (tirmizi) jadi harta yang kita punya sekarang ini merupakan cobaan dari Allah dan sebagai alat untuk melangkah di dunia.
Begitulah, islam ini mengarahkan presepsi manusia tentang hidup dan segala cakupannya yang indah, selaras dan seimbang.bila mampu mempersiapkan kehidupan dengan benar, ketenangan dan ketetramanlah yang ada, tak ada lagi kekhawatiran apalagi stress. Selamat tinggal stress ….

Biografi Imam Asy-Syafi'i

Selasa, 15 Desember 2009
Ditulis pada Oktober 24, 2007 oleh Ainu Amri Tanjung

Pemilik Manhaj Fiqih Yang Memadukan Antara Dua Madzhab Pendahulunya)
Selasa, 01 Februari 05
Nama Dan Nasabnya
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin Murrah bin al-Muththalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu`ay bin Ghalib Abu ‘Abdillah al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Makki, keluarga dekat Rasulullah SAW dan putera pamannya.
Al-Muththalib adalah saudara Hasyim yang merupakan ayah dari ‘Abdul Muththalib, kakek Rasulullah SAW. Jadi, Imam asy-Syafi’i berkumpul (bertemu nasabnya) dengan Rasulullah pada ‘Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang ketiga
Sebutan “asy-Syafi’i” dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’ bin as-Saib, seorang shahabat junior yang sempat bertemu dengan Raasulullah SAW ketika masih muda.
Sedangkan as-Saib adalah seorang yang mirip dengan Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan bahwa ketika suatu hari Nabi SAW berada di sebuah tempat yang bernama Fushthath, datanglah as-Saib bin ‘’Ubaid beserta puteranya, yaitu Syafi’ bin as-Saib, maka Rasulullah SAW memandangnya dan berkata, “Adalah suatu kebahagiaan bila seseorang mirip dengan ayahnya.”

Sementara ibunya berasal dari suku Azd, Yaman.
Gelarnya
Ia digelari sebagai Naashir al-Hadits (pembela hadits) atau Nasshir as-Sunnah, gelar ini diberikan karena pembelaannya terhadap hadits Rasulullah SAW dan komitmennya untuk mengikuti as-Sunnah.
Kelahiran Dan Pertumbuhannya
Para sejarawan sepakat, ia lahir pada tahun 150 H, yang merupakan -menurut pendapat yang kuat- tahun wafatnya Imam Abu Hanifah RAH tetapi mengenai tanggalnya, para ulama tidak ada yang memastikannya.
Tempat Kelahirannya
Ada banyak riwayat tentang tempat kelahiran Imam asy-Syafi’i. Yang paling populer adalah bahwa beliau dilahirkan di kota Ghazzah (Ghaza). Pendapat lain mengatakan, di kota ‘Asqalan bahkan ada yang mengatakan di Yaman.
Imam al-Baihaqi mengkonfirmasikan semua riwayat-riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa yang shahih beliau dilahirkan di Ghaza bukan di Yaman. Sedangkan penyebutan ‘Yaman’ barangkali maksudnya adalah tempat yang dihuni oleh sebagian keturunan Yaman di kota Ghaza. Beliau kemudian lebih mendetail lagi dengan mengatakan, “Seluruh riwayat menunjukkan bahwa Imam asy-Syafi’i dilahirkan di kota Ghaza, lalu dibawa ke ‘Asqalan, lalu dibawa ke Mekkah.”
Ibn Hajar mengkonfirmasikan secara lebih spesifik lagi dengan mengatakan tidak ada pertentangan antar riwayat-riwayat tersebut (yang mengatakan Ghaza atau ‘Asqalan), karena ketika asy-Syafi’i mengatakan ia lahir di ‘Asqalan, maka maksudnya adalah kotanya sedangkan Ghaza adalah kampungnya. Ketika memasuki usia 2 tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman, karena ibunya berasal dari suku Azd. Ketika berumur 10 tahun, ia dibawa ibunya ke Mekkah karena ibunya khawatir nasabnya yang mulia itu lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhan Dan Kegiatannya Dalam Mencari Ilmu
Imam asy-Syafi’i tumbuh di kota Ghaza sebagai seorang yatim, di samping itu juga hidup dalam kesulitan dan kefakiran serta terasing dari keluarga. Kondisi ini tidak menyurutkan tekadnya untuk hidup lebih baik. Rupanya atas taufiq Allah, ibunya membawanyanya ke tanah Hijaz, Mekkah. Maka dari situ, mulailah imam asy-Syafi’i kecil menghafal al-Qur’an dan berhasil menamatkannya dalam usia 7 tahun.
Menurut pengakuan asy-Syafi’i, bahwa ketika masa belajar dan mencari guru untuknya, ibunya tidak mampu membayar gaji gurunya, namun gurunya rela dan senang karena dia bisa menggantikannya pula. Lalu ia banyak menghadiri pengajian dan bertemu dengan para ulama untuk mempelajari beberapa masalah agama. Ia menulis semua apa yang didengarnya ke tulang-tulang yang bila sudah penuh dan banyak, maka ia masukkan ke dalam karung.
Ia juga bercerita bahwa ketika tiba di Mekkah dan saat itu masih berusia sekitar 10 tahun, salah seorang sanak saudaranya menasehati agar ia bersungguh-sungguh untuk hal yang bermanfa’at baginya. Lalu ia pun merasakan lezatnya menuntut ilmu dan karena kondisi ekonominya yang memprihatinkan, untuk menuntut ilmu ia harus pergi ke perpustakaan dan menggunakan bagian luar dari kulit yang dijumpainya untuk mencatat.
Hasilnya, dalam usia 7 tahun ia sudah hafal al-Qur’an 30 juz, pada usia 10 tahun (menurut riwayat lain, 13 tahun) ia hafal kitab al-Muwaththa` karya Imam Malik dan pada usia 15 tahun (menurut riwayat lain, 18 tahun) ia sudah dipercayakan untuk berfatwa oleh gurunya Muslim bin Khalid az-Zanji.
Semula beliau begitu gandrung dengan sya’ir dan bahasa di mana ia hafal sya’ir-sya’ir suku Hudzail. Bahkan, ia sempat berinteraksi dengan mereka selama 10 atau 20 tahun. Ia belajar ilmu bahasa dan balaghah. Dalam ilmu hadits, ia belajar dengan imam Malik dengan membaca langsung kitab al-Muwaththa` dari hafalannya sehingga membuat sang imam terkagum-kagum. Di samping itu, ia juga belajar berbagai disiplin ilmu sehingga gurunya banyak.
Pengembaraannya Dalam Menuntut Ilmu
Imam asy-Syafi’i amat senang dengan syair dan ilmu bahasa, terlebih lagi ketika ia mengambilnya dari suku Hudzail yang dikenal sebagai suku Arab paling fasih. Banyak bait-bait syair yang dihafalnya dari orang-orang Hudzail selama interaksinya bersama mereka. Di samping syair, beliau juga menggemari sejarah dan peperangan bangsa Arab serta sastra.
Kapasitas keilmuannya dalam bahasa ‘Arab tidak dapat diragukan lagi, bahkan seorang imam bahasa ‘Arab, al-Ashmu’i mengakui kapasitasnya dan mentashhih sya’ir-sya’ir Hudzail kepadanya.
Di samping itu, imam asy-Syafi’i juga seorang yang bacaan al-Qur’annya amat merdu sehingga membuat orang yang mendengarnya menangis bahkan pingsan. Hal ini diceritakan oleh Ibn Nashr yang berkata, “Bila kami ingin menangis, masing-masing kami berkata kepada yang lainnya, ‘bangkitlah menuju pemuda al-Muththaliby yang sedang membaca al-Qur’an,” dan bila kami sudah mendatanginya sedang shalat di al-Haram seraya memulai bacaan al-Qur’an, orang-orang merintih dan menangis tersedu-sedu saking merdu suaranya. Bila melihat kondisi orang-orang seperti itu, ia berhenti membacanya.
Di Mekkah, setelah dinasehati agar memperdalam fiqih, ia berguru kepada Muslim bin Khalid az-Zanji, seorang mufti Mekkah. Setelah itu, ia dibawa ibunya ke Madinah untuk menimba ilmu dari Imam Malik. Di sana, beliau berguru dengan Imam Malik selama 16 tahun hingga sang guru ini wafat (tahun 179 H). Pada saat yang sama, ia belajar pada Ibrahim bin Sa’d al-Anshary, Muhammad bin Sa’id bin Fudaik dan ulama-ulama selain mereka.
Sepeninggal Imam Malik, asy-Syafi’i merantau ke wilayah Najran sebagai Wali (penguasa) di sana. Namun betapa pun keadilan yang ditampakkannya, ada saja sebagian orang yang iri dan menjelek-jelekkannya serta mengadukannya kepada khalifah Harun ar-Rasyid. Lalu ia pun dipanggil ke Dar al-Khilafah pada tahun 184 H. Akan tetapi beliau berhasil membela dirinya di hadapan khalifah dengan hujjah yang amat meyakinkan sehingga tampaklah bagi khalifah bahwa tuduhan yang diarahkan kepadanya tidak beralasan dan ia tidak bersalah, lalu khalifah menjatuhkan vonis ‘bebas’ atasnya. (kisah ini dimuat pada rubrik ‘kisah-kisah islami-red.,).
Beliau kemudian merantau ke Baghdad dan di sana bertemu dengan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany, murid Imam Abu Hanifah. Beliau membaca kitab-kitabnya dan mengenal ilmu Ahli Ra`yi (kaum Rasional), kemudian kembali lagi ke Mekkah dan tinggal di sana selama kurang lebih 9 tahun untuk menyebarkan madzhabnya melalui halaqah-halaqah ilmu yang disesaki para penuntut ilmu di Haram, Mekkah, demikian juga melalui pertemuannya dengan para ulama saat berlangsung musim haji. Pada masa ini, Imam Ahmad belajar dengannya.
Kemudian beliau kembali lagi ke Baghdad tahun 195 H. Kebetulan di sana sudah ada majlisnya yang dihadiri oleh para ulama dan disesaki para penuntut ilmu yang datang dari berbagai penjuru. Beliau tinggal di sana selama 2 tahun yang dipergunakannya untuk mengarang kitab ar-Risalah. Dalam buku ini, beliau memaparkan madzhab lamanya (Qaul Qadim). Dalam masa ini, ada empat orang sahabat seniornya yang ‘nyantri’ dengannya, yaitu Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, az-Za’farany dan al-Karaabiisy.
Kemudian beliau kembali ke Mekkah dan tinggal di sana dalam waktu yang relatif singkat, setelah itu meninggalkannya menuju Baghdad lagi, tepatnya pada tahun 198 H. Di Baghdad, beliau juga tinggal sebentar untuk kemudian meninggalkannya menuju Mesir.
Beliau tiba di Mesir pada tahun 199 H dan rupanya kesohorannya sudah mendahuluinya tiba di sana. Dalam perjalanannya ini, beliau didampingi beberapa orang muridnya, di antaranya ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Murady dan ‘Abdullah bin az-Zubair al-Humaidy. Beliau singgah dulu di Fushthath sebagai tamu ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam yang merupakan sahabat Imam Malik. Kemudian beliau mulai mengisi pengajiannya di Jami’ ‘Amr bin al-‘Ash. Ternyata, kebanyakan dari pengikut dua imam sebelumnya, yaitu pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik lebih condong kepadanya dan terkesima dengan kefasihan dan ilmunya.
Di Mesir, beliau tinggal selama 5 tahun di mana selama masa ini dipergunakannya untuk mengarang, mengajar, berdebat (Munazharah) dan meng-counter pendapat-pendapat lawan. Di negeri inilah, beliau meletakkan madzhab barunya (Qaul Jadid), yaitu berupa hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang beliau gali dalilnya selama di Mesir, sebagiannya berbeda dengan pendapat fiqih yang telah diletakkannya di Iraq. Di Mesir pula, beliau mengarang buku-buku monumentalnya, yang diriwayatkan oleh para muridnya.
Kemunculan Sosok Dan Manhaj (Metode) Fiqihnya
Mengenai hal ini, Ahmad Tamam di dalam bukunya asy-Syaafi’iy: Malaamih Wa Aatsaar menyebutkan bagaimana kemunculan sosok asy-Syafi’i dan manhaj fiqihnya. Sebuah manhaj yang merupakan paduan antara fiqih Ahli Hijaz dan fiqih Ahli Iraq, manhaj yang dimatangkan oleh akal yang menyala, kemumpunian dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kejelian dalam linguistik Arab dan sastra-sastranya, kepakaran dalam mengetahui kondisi manusia dan permasalahan-permasalahan mereka serta kekuatan pendapat dan qiyasnya.
Bila kembali ke abad 2 M, kita mendapati bahwa pada abad ini telah muncul dua ‘’perguruan’ (Madrasah) utama di dalam fiqih Islam; yaitu perguruan rasional (Madrasah Ahli Ra`yi) dan perguruan hadits (Madrasah Ahli Hadits). Perguruan pertama eksis di Iraq dan merupakan kepanjangan tangan dari fiqih ‘Abdullah bin Mas’ud yang dulu tinggal di sana. Lalu ilmunya dilanjutkan oleh para sahabatnya dan mereka kemudian menyebarkannya. Dalam hal ini, Ibn Mas’ud banyak terpengaruh oleh manhaj ‘Umar bin al-Khaththab di dalam berpegang kepada akal (pendapat) dan menggali illat-illat hukum manakala tidak terdapat nash baik dari Kitabullah mau pun dari Sunnah Rasulullah SAW. Di antara murid Ibn Mas’ud yang paling terkenal adalah ‘Alqamah bin Qais an-Nakha’iy, al-Aswad bin Yazid an-Nakha’iy, Masruq bin al-Ajda’ al-Hamadaany dan Syuraih al-Qadly. Mereka itulah para ahli fiqih terdepan pada abad I H. Setelah mereka, perguruan Ahli Ra`yi dipimpin oleh Ibrahim bin Yazid an-Nakha’iy, ahli fiqih Iraq tanpa tanding. Di tangannya muncul beberapa orang murid, di antaranya Hammad bin Sulaiman yang menggantikan pengajiannya sepeninggalnya. Hammad adalah seorang Imam Mujtahid dan memiliki pengajian yang begitu besar di Kufah. Pengajiannya ini didatangi banyak penuntut ilmu, di antaranya Abu Hanifah an-Nu’man yang pada masanya mengungguli semua rekan sepengajiannya dan kepadanya berakhir tampuk kepemimpinan fiqih. Ia lah yang menggantikan syaikhnya setelah wafatnya dan mengisi pengajian yang diselenggarakan perguruan Ahli Ra`yi. Pada masanya, banyak sekali para penuntut ilmu belajar fiqih dengannya, termasuk di antaranya murid-muridnya yang setia, yaitu Qadi Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, Zufar, al-Hasan bin Ziyad dan ulama-ulama selain mereka. Di tangan-tangan mereka itulah akhirnya metode perguruan Ahli Ra`yi mengkristal, semakin eksis dan jelas manhajnya.
Sedangkan perguruan Ahli Hadits berkembang di semenanjung Hijaz dan merupakan kepanjangan tangan dari perguruan ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Aisyah dan para ahli fiqih dari kalangan shahabat lainnya yang berdiam di Mekkah dan Madinah. Penganut perguruan ini banyak melahirkan para imam seperti Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin az-Zubair, al-Qasim bin Muhammad, Ibn Syihab az-Zuhry, al-Laits bin Sa’d dan Malik bin Anas. Perguruan ini unggul dalam hal keberpegangannya sebatas nash-nash Kitabullah dan as-Sunnah, bila tidak mendapatkannya, maka dengan atsar-atsar para shahabat. Di samping itu, timbulnya perkara-perkara baru yang relatif sedikit di Hijaz, tidak sampai memaksa mereka untuk melakukan penggalian hukum (istinbath) secara lebih luas, berbeda halnya dengan kondisi di Iraq.
Saat imam asy-Syafi’I muncul, antara kedua perguruan ini terjadi perdebatan yang sengit, maka ia kemudian mengambil sikap menengah (baca: moderat). Beliau berhasil melerai perdebatan fiqih yang terjadi antara kedua perguruan tersebut berkat kemampuannya di dalam menggabungkan antara kedua manhaj perguruan tersebut mengingat ia sempat berguru kepada tokoh utama dari keduanya; dari perguruan Ahli Hadits, ia berguru dengan pendirinya, Imam Malik dan dari perguruan Ahli Ra`yi, ia berguru dengan orang nomor dua yang tidak lain adalah sahabat dan murid Imam Abu Hanifah, yaitu Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany.
Imam asy-Syafi’i menyusun Ushul (pokok-pokok utama) yang dijadikan acuan di dalam fiqihnya dan kaidah-kaidah yang dikomitmeninya di dalam ijtihadnya pada risalah ushul fiqih yang berjudul ar-Risalah. Ushul tersebut ia terapkan dalam fiqihnya. Ia merupakan Ushul amaliah bukan teoritis. Yang lebih jelas lagi dapat dibaca pada kitabnya al-Umm di mana beliau menyebutkan hukum berikut dalil-dalilnya, kemudian menjelaskan aspek pendalilan dengan dalil, kaidah-kaidah ijtihad dan pokok-pokok penggalian dalil yang dipakai di dalam menggalinya. Pertama, ia merujuk kepada al-Qur’an dan hal-hal yang nampak baginya dari itu kecuali bila ada dalil lain yang mengharuskan pengalihannya dari makna zhahirnya, kemudian setelah itu, ia merujuk kepada as-Sunnah bahkan sampai pada penerimaan khabar Ahad yang diriwayatkan oleh periwayat tunggal namun ia seorang yang Tsiqah (dapat dipercaya) pada diennya, dikenal sebagai orang yang jujur dan tersohor dengan kuat hafalan. Asy-Syafi’i menilai bahwa as-Sunnah dan al-Qur’an setaraf sehingga tidak mungkin melihat hanya pada al-Qur’an saja tanpa melihat lagi pada as-Sunnah yang menjelaskannya. Al-Qur’an membawa hukum-hukum yang bersifat umum dan kaidah Kulliyyah (bersifat menyeluruh) sedangkan as-Sunnah lah yang menafsirkan hal itu. as-Sunnah pula lah yang mengkhususkan makna umum pada al-Qur’an, mengikat makna Muthlaq-nya atau menjelaskan makna globalnya.
Untuk berhujjah dengan as-Sunnah, asy-Syafi’i hanya mensyaratkan bersambungnya sanad dan keshahihannya. Bila sudah seperti itu maka ia shahih menurutnya dan menjadi hujjahnya. Ia tidak mensyaratkan harus tidak bertentangan dengan amalan Ahli Madinah untuk menerima suatu hadits sebagaimana yang disyaratkan gurunya, Imam Malik, atau hadits tersebut harus masyhur dan periwayatnya tidak melakukan hal yang bertolak belakang dengannya.
Selama masa hidupnya, Imam asy-Syafi’i berada di garda terdepan dalam membela as-Sunnah, menegakkan dalil atas keshahihan berhujjah dengan hadits Ahad. Pembelaannya inilah yang merupakan faktor semakin melejitnya popularitas dan kedudukannya di sisi Ahli Hadits sehingga mereka menjulukinya sebagai Naashir as-Sunnah (Pembela as-Sunnah).
Barangkali faktor utama kenapa asy-Syafi’i lebih banyak berpegang kepada hadits ketimbang Imam Abu Hanifah bahkan menerima hadits Ahad bilamana syarat-syaratnya terpenuhi adalah karena ia hafal hadits dan amat memahami ‘illat-‘illat-nya di mana ia tidak menerima darinya kecuali yang memang valid menurutnya. Bisa jadi hadits-hadits yang menurutnya shahih, menurut Abu Hanifah dan para sahabatnya tidak demikian.
Setelah merujuk al-Qur’an dan as-Sunnah, asy-Syafi’i menjadikan ijma’ sebagai dalil berikutnya bila menurutnya tidak ada yang bertentangan dengannya, kemudian baru Qiyas tetapi dengan syarat terdapat asalnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Penggunaannya terhadap Qiyas tidak seluas yang dilakukan Imam Abu Hanifah.
Aqidahnya
Di sini dikatakan bahwa ia seorang Salafy di mana ‘aqidahnya sama dengan ‘aqidah para ulama Salaf; menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dan menafikan apa yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya tanpa melakukan Tahrif (perubahan), Ta`wil (penafsiran yang menyimpang), Takyif (Pengadaptasian alias mempertanyakan; bagaimana), Tamtsil (Penyerupaan) dan Ta’thil (Pembatalan alias pendisfungsian asma dan sifat Allah).
Beliau, misalnya, mengimani bahwa Allah memiliki Asma` dan Sifat sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam kitab-Nya dan Rasulullah dalam haditsnya, bahwa siapa pun makhluk Allah yang sudah ditegakkan hujjah atasnya, al-Qur’an sudah turun mengenainya dan menurutnya hadits Rasulullah sudah shahih karena diriwayatkan oleh periwayat yang adil; maka tidak ada alasan baginya untuk menentangnya dan siapa yang menentang hal itu setelah hujjah sudah benar-benar valid atasnya, maka ia kafir kepada Allah. Beliau juga menyatakan bahwa bila sebelum validnya hujjah atas seseorang dari sisi hadits, maka ia dapat ditolerir karena kejahilannya sebab ilmu mengenai hal itu tidak bisa diraba hanya dengan akal, dirayah atau pun pemikiran.
Beliau juga mengimani bahwa Allah Ta’ala Maha Mendengar, memiliki dua tangan, berada di atas ‘arasy-Nya dan sebagainya.
Beliau juga menegaskan bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan keyakinan dengan hati. (untuk lebih jelasnya, silahkan merujuk buku Manaaqib asy-Syafi’i karangan Imam al-Baihaqi; I’tiqaad al-A`immah al-Arba’ah karya Syaikh Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais [sudah diterjemahkan –kurang lebih judulnya-: ‘Aqidah Empat Imam Madzhab oleh KH.Musthafa Ya’qub])
Sya’ir-Sya’irnya
Imam asy-Syafi’i dikenal sebagai salah seorang dari empat imam madzhab tetapi tidak banyak yang tahu bahwa ia juga seorang penyair. Beliau seorang yang fasih lisannya, amat menyentuh kata-katanya, menjadi hujjah di dalam bahasa ‘Arab. Hal ini dapat dimengerti, karena sejak dini, beliau sudah tinggal dan berinteraksi dengan suku Hudzail yang merupakan suku arab paling fasih kala itu. Beliau mempelajari semua sya’ir-sya’ir mereka, karena itu ia dianggap sebagai salah satu rujukan bagi para ahli bahasa semasanya, di antaranya diakui sendiri oleh seorang tokoh sastra Arab semasanya, al-Ashmu’i sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
Imam Ahmad berkata, “asy-Syafi’i adalah orang yang paling fasih.” Imam Malik terkagum-kagum dengan bacaannya karena demikian fasih. Karena itu, pantas bila Imam Ahmad pernah berkata, “Tidak seorang pun yang menyentuh tinta atau pun pena melainkan di pundaknya ada jasa asy-Syafi’i.” Ayyub bin Suwaid berkata, “Ambillah bahasa dari asy-Syafi’i.”
Hampir semua isi sya’ir yang dirangkai Imam asy-Syafi’i bertemakan perenungan. Sedangkan karakteristik khusus sya’irnya adalah sya’ir klasik. Alhasil, ia mirip dengan perumpamaan-perumpamaan atau hikmah-hikmah yang berlaku di tengah manusia.
Di antara contohnya,
- Sya’ir Zuhud
Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah jika engkau lalai
Pasti Dia membawa rizki tanpa engkau sadari
Bagaimana engkau takut miskin padahal Allah Sang Pemberi rizki
Dia telah memberi rizki burung dan ikan hiu di laut
Siapa yang mengira rizki hanya didapat dengan kekuatan
Semestinya burung pipit tidak dapat makan karena takut pada elang
Turun dari dunia (mati), tidak engkau tahu kapan
Bila sudah malam, apakah engkau akan hidup hingga fajar?
Berapa banyak orang yang segar-bugar mati tanpa sakit
Dan berapa banyak orang yang sakit hidup sekian tahunan?
- Sya’ir Akhaq
Kala mema’afkan, aku tidak iri pada siapa pun
Aku tenangkan jiwaku dari keinginan bermusuhan
Sesungguhnya aku ucapkan selamat pada musuhku saat melihatnya
Agar dapat menangkal kejahatannya dengan ucapan-ucapan selamat tersebut
Manusia yang paling nampak bagi seseorang adalah yang paling dibencinya
Sebagaimana rasa cinta telah menyumbat hatiku
Manusia itu penyakit dan penyakit manusia adalah kedekatan dengan mereka
Namun mengasingkan mereka adalah pula memutus kasih sayang
Tawadlu’, Wara’ Dan ‘ibadahnya
Imam asy-Syafi’i terkenal dengan ketawadlu’an (kerendahan diri)-nya dan ketundukannya pada kebenaran. Hal ini dibuktikan dengan pengajiannya dan pergaulannya dengan teman sejawat, murid-murid dan orang-orang lain. Demikian juga, para ulama dari kalangan ahli fiqih, ushul, hadits dan bahasa sepakat atas keamanahan, keadilan, kezuhudan, kewara’an, ketakwaan dan ketinggian martabatnya.
Sekali pun demikian agungnya beliau dari sisi ilmu, ahli debat, amanah dan hanya mencari kebenaran, namun hal itu semua bukan karena ingin dipandang dan tersohor. Karena itu, masih terduplikasi dalam memori sejarah ucapannya yang amat masyhur, “Tidaklah aku berdebat dengan seseorang melainkan aku tidak peduli apakah Allah menjelaskan kebenaran atas lisannya atau lisanku.”
Sampai-sampai saking hormatnya Imam Ahmad kepada gurunya, asy-Syafi’i ini; ketika ia ditanya oleh anaknya tentang gurunya tersebut, “Siapa sih asy-Syafi’i itu hingga ayahanda memperbanyak doa untuknya?” ia menjawab, “Imam asy-Syafi’i ibarat matahari bagi siang hari dan ibarat kesehatan bagi manusia; maka lihat, apakah bagi keduanya ini ada penggantinya.?”
Imam asy-Syafi’i seorang yang faqih bagi dirinya, banyak akalnya, benar pandangan dan fikirnya, ahli ibadah dan dzikir. Beliau amat mencintai ilmu, sampai-sampai ia berkata, “Menuntut ilmu lebih afdlal daripada shalat sunnat.”
Sekali pun demikian, ar-Rabi’ bin Sualaiman, muridnya meriwayatkan bahwasanya ia selalu shalat malam hingga wafat dan setiap malam satu kali khatam al-Qur’an.
Ad-Dzahabi di dalam kitabnya Siyar an-Nubalaa` meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman yang berkata, “Imam asy-Syafi’i membagi-bagi malamnya; sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat dan sepertiga ketiga untuk tidur.”
Menambahi ucapan ar-Rabi’ tersebut, Adz-Dzahabi berkata, “Tentunya, ketiga pekerjaan itu hendaknya dilakukan dengan niat.”
Ya, Imam adz-Dzahabi benar sebab niat merupakan ciri kelakuan para ulama. Bila ilmu membuahkan perbuatan, maka ia akan meletakkan pelakunya di atas jalan keselamatan.
Betapa kita sekarang-sekarang ini lebih berhajat kepada para ulama yang bekerja (‘amiliin), yang tulus (shadiqiin) dan ahli ibadah (‘abidiin), yang menjadi tumpuan umat di dalam menghadapi berbagai problematika yang begitu banyaknya, La hawla wa la quwwata illa billaah.
Imam asy-Syafi’i tetap tinggal di Mesir dan tidak pergi lagi dari sana. Beliau mengisi pengajian yang dikerubuti oleh para muridnya hingga beliau menemui Rabbnya pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H.
Alangkah indah isi bait Ratsâ` (sya’ir mengenang jasa baik orang sudah meninggal dunia) yang dikarang Muhammad bin Duraid, awalnya berbunyi,
Tidakkah engkau lihat peninggalan Ibn Idris (asy-Syafi’i) setelahnya
Dalil-dalilnya mengenai berbagai problematika begitu berkilauan
REFERENSI:
- asy-Syafi’i; Malaamih Wa Atsar Fi Dzikra Wafaatih karya Ahmad Tamam
- I’tiqaad A`immah as-Salaf Ahl al-Hadits karya Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais
- Mawsuu’ah al-Mawrid al-Hadiitsah
- Al-Imam asy-Syafi’i Syaa’iran karya Muhammad Khumais
- Diiwaan al-Imam asy-Syafi’i, terbitan al-Hai`ah al-Mishriiyyah Li al-Kitaab
- Qiyaam asy-Syafi’i (Thariqul Islam)
- Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’i karya Dr.Muhammad al-‘Aqil, penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi’i
Diringkas dan disadur oleh,
Abu Hafshoh al-‘Afifah
Dikutip dari: www.alsofwah.or.id
Filed under: biografi

AK -47


AK-47

Siapa yang tidak kenal AK-47, Senapan serbu yang tidak ada tandingannya sampai hari ini sejak ditemukan oleh Michail Kalashnikov, Insinyur berkewarganegaraan Sovyet tahun 1946.
Para mujahid sering menggunakannya dalam medan pertempuran.
Lebih jelas tentang AK 47 sebagai berikut :

spesifikasi :
1. Kaliber : 7.62 mm
2. Berat : 4,3 kg
3. Panjang Senapan (total): 0,87 m
4. Panjang laras bedil : 0,415 m
5. Kecepatan peluru : 715 m/dt
6. Laju /percepatan dari tembakan : 600 rpm(600 peluru per menit)
7. laju dari tembakan (praktis) : 40 -100 rpm
8. Kapasitas Magazine (tempat peluru) : 30 catridges
9. Catridge : 7.62 x 39 mm
10. Jarak bidikan : 800 m
11. Jarak tembakan efektif : 400 m
Kelebihan dari AK-47…

1. Mudah digunakan dan mudah dalam pemeliharaan
2. Tahan uji /dapat diandalkan
3. Walaupun sudah terbenam dalam lumpur dan air, masih berfungsi baik
4. Sepuhan chrome pada laras memungkinkan dapat digunakan pada suhu yang rendah
5. Dapat digunakan di dalam kota ( kaliber 7.62 mm tidak memantul dinding berbeda dengan kaliber 5.45 mm)
6. Multifungsi : dilengkapi dengan pisau bayonet dan pelontar granat
Negara-negara yang memproduksi AK-47 : Albania, Bulgaria, Rumania, Hungaria, Jerman, China, Checnya, Polandia, Yugoslavia, Finlandia, Iraq, Mesir, Kore utara, Indonesia, Israel dan Amerika Serikat.Tentu saja under lisensi dari kang Michail Kalashnikov.Kira-kira dari setengah abad terakhir sudah ada 70 juta AK-47 termasuk yang sudah di modifikasi.Pertamakali modifikasi /moderenisasi dari AK-47 tahun 1959 oleh Russia dengan tujuan untuk menurunkan berat dari AK-47 dan Peningkatan akurasi tembakan.Produk modifikasi ini disebut AKM.Sekitar pertengahan tahun 70-an AKM di produksi lagi(rebuilt) menjadi kaliber 5.45 x 39-mm dan produk ini dinamakan AK-74.
Sekarang AK-100 produksi Russia adalah yang paling modern dan dengan kareasteristik yang lebih luas.

Cara menggunakan AK-47, ada 3 posisi :
1. Safety-lock
2. automatic fire
3. single fire

Belajar cara islam




Saya sangat terheran heran dengan cerita Sahabat Rasulullah, bagaimana mungkin Sayidina Abu Hurairah dapat menghafal ribuan hadits atau Sayidina Ustman dapat mengkhatam Quran dalam shalat tahajudnya atau Sayidina Ali menguasai berbagai ilmu hikmah yang diamalkan dalam kehidupannya atau Sayidina Khalid bin Walid dapat menang dalam berbagai peperangan, banyak sekali keajaiban yang dimiliki Sahabat Rasulullah. Apa yang dilakukan mereka dan tidak lagi dilakukan di zaman ini? apa yang mereka ketahui dan tidak kita ketahui?

Banyak sekali ilmu ilmu yang telah hilang dari zaman Rasulullah, Salafussoleh, Tabit Tabiin sampai sekarang. Banyak hal yang terlihat kecil dan tidak diamalkan orang sekarang namun besar pengaruhnya dalam proses mencari ilmu. Hal ini telah diketahui dan menjadi amalan orang orang soleh di zaman rasul dan sesudahnya. Diantaranya:

1. Niat menuntut ilmu untuk mencari keredhoan Allah, dengan cara ini Allah akan berikan jalan keluar dalam setiap langkah yang buntu.

2. Patuh pada guru . Tidak durhaka pada guru, orang tua, tidak berbuat jahat pada siapa saja atau apa saja.
Contoh yang durhaka pada guru: Tsa’labah yang tidak patuh pada Rasul. Qarun yang tidak mau ikut dengan Nabi Musa. Keduanya mati dalam keadaan jauh dari Tuhan. Audzubillahimindzalik.

3. Tidak berbuat aniaya pada siapa atau apapun. Menganiaya kawan atau makhluk lain akan membuat hati menjadi mati dan mudah berbuat dosa berikutnya.

4. Menghindari dosa dosa besar dan kecil
Misalnya: berbohong akan menjauhkan kita dari kebenaran, menjaga pandangan mata ( kisah orang soleh yang langsung lupa hafalan 1 Al Quran karena tidak menjaga pandangannya terhadap wanita), dll.

5. Mengamalkan ilmu yang telah dimiliki secara terus menerus. Dengan mengamalkan ilmu kita melakukan penghayatan dan Insya Allah akan mendapatkan ruh dari apa yang kita lakukan. (setiap apa yang kita lakukan memiliki ‘ruh’ lihat ruh dalam beramal). Kita juga akan melakukan dua amalan yaitu mengamalkan ilmu dan berusaha istiqomah. Moga mendapat keredhoan Allah.

6. Memenuhi adab dan tata cara mencari ilmu; misalnya: dimulai dengan berdoa, sebaiknya menghadap qiblat, mendengar dengan tertib, tidak memotong perkataan guru, dll.

Dasar-dasar Jihad


Apakah anda orang yang mengatakan bahwa berjihad menegakkan Syari’ah Islam dan khilafah Islamiyah di bumi Allah adalah tindakan Terorisme ? Jika demikian, berarti anda belum mengerti tentang jihad Islami yang merupakan mukjizat Allah SWT.

Jihad adalah usaha serius untuk membumikan wahyu Allah di muka bumi sehingga tidak ada lagi kezaliman dan fitnah terhadap Islam dan ummatnya. Renungkan firman Allah dalam QS Al Baqarah 2:193 dan QS Al Anfal 8:39.

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (QS. Al Baqarah 2:193)

Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari kekafiran), Maka Sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang mereka kerjakan. (QS. Al Anfal 8:39)

Fitnah adalah kezaliman dan sifatnya lebih kejam dari pembunuhan, karenanya "Allah mengharamkan kezaliman sampai datangnya hari qiyamat." (HR Muslim)

Allah SWT. memerintahkan kepada Rasulullah SAW. dan ummatnya agar terus memerangi orang kafir dan zalim yang selalu menimbulkan fitnah kepada Islam dan ummatnya. Al Qur’an mengingatkan:

"Wahai Nabi berjihadlah melawan orang-orang kafir dan munafiqien itu dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali." (QS. At Taubah 9:73 dan QS 66:9)

jadi sudah jelas bahwa jihad menjadi jalan untuk menegakkan kalimat Allah. dan kita bisa melawan fitnah yang kian hari semakin merajalela menyerang umat islam.

Gurauan dan Canda Rasulullah



Rasulullah s.a.w. bergaul dengan semua orang. Baginda s.a.w menerima hamba, orang buta, dan anak-anak. Rasulullah s.a.w. bergurau dengan anak kecil, bermain-main dengan mereka, bersenda gurau dengan orang tua. Akan tetapi Rasulullah s.a.w. tidak berkata kecuali yang benar saja.
Suatu hari seorang perempuan datang kepada beliau lalu berkata, "Ya Rasulullah! Naikkan saya ke atas unta", katanya.
"Aku akan naikkan engkau ke atas anak unta", kata Rasulullah s.a.w.. "Ia tidak mampu", kata perempuan itu. "Tidak, aku akan naikkan engkau ke atas anak unta"."Ia tidak mampu".Para sahabat yang berada di situ berkata, "Bukankah unta itu juga anak unta?"

Datang seorang perempuan lain, dia memberitahu Rasulullah s.a.w.:"Ya Rasulullah, suamiku jatuh sakit. Dia memanggilmu". "Semoga suamimu yang dalam matanya putih", kata Rasulullah s.a.w. Perempuan itu kembali ke rumahnya. Dan dia pun membuka mata suaminya. Suaminya bertanya dengan keheranan, "Kenapa kamu ini?". "Rasulullah s.a.w. memberitahu bahawa dalam matamu putih", kata isterinya menerangkan. "Bukankah semua mata ada warna putih?" kata suaminya.
Seorang perempuan lain berkata kepada Rasulullah s.a.w.: "Ya Rasulullah, doakanlah kepada Allah s.w.t. agar aku dimasukkan ke dalam syurga". "Wahai ummi fulan, syurga tidak dimasuki oleh orang tua". Perempuan itu lalu menangis.
Rasulullah s.a.w. menjelaskan, "Tidakkah kamu membaca firman Allah s.w.t. ini:

"Serta kami telah menciptakan isteri-isteri mereka dengan ciptaan istimewa, serta kami jadikan mereka senantiasa perawan (yang tidak pernah disentuh), yang tetap mencintai jodohnya, serta yang sebaya umurnya".

Para sahabat Rasulullah s.a.w. suka tertawa tapi iman di dalam hati mereka bagai gunung yang teguh. Na'im adalah seorang sahabat yang paling suka bergurau dan tertawa. Mendengar kata-kata dan melihat gelagatnya, Rasulullah turut tersenyum.

tanda-tanda kematian









Tanda dibawah ini ditunjukkan kepada orang-orang yang terpilih:

Tanda 100 hari sebelum hari mati.
Ini adalah tanda pertama dari Allah s.w.t. kepada hambanya dan hanya akan disedari oleh mereka-mereka yang dikehendakinya. Walaubagaimanapun semua orang Islam akan mendapat tanda ini cuma samada mereka sedar atau tidak sahaja. Tanda ini akan berlaku lazimnya selepas waktu Asar. Seluruh tubuh iaitu dari hujung rambut sehingga ke hujung kaki akan mengalami getaran atau seakan-akan mengigil. Contohnya seperti daging lembu yang baru disembelih dimana jika diperhatikan dengan teliti kita akan mendapati daging tersebut seakan-akan bergetar. Tanda ini rasanya lazat dan bagi mereka sedar dan berdetik di hati bahawa mungkin ini adalah tanda mati maka getaran ini akan berhenti dan hilang setelah kita sedar akan kehadiran tanda ini. Bagi mereka yang tidak diberi kesedaran atau mereka yang hanyut dengan kenikmatan tanpa memikirkan soal kematian, tanda ini akan lenyap begitu sahaja tanpa sebarang munafaat. Bagi yang sedar dengan kehadiran tanda ini maka ini adalah peluang terbaik untuk memunafaatkan masa yang ada untuk mempersiapkan diri dengan amalan dan urusan yang akan dibawa atau ditinggalkan sesudah mati.

Tanda 40 hari sebelum hari mati
Tanda ini juga akan berlaku sesudah waktu Asar. Bahagian pusat kita akan berdenyut-denyut. Pada ketika ini daun yang tertulis nama kita akan gugur dari pokok yang letaknya di atas Arash Allah s.w.t. Maka malaikatmaut akan mengambil daun tersebut dan mula membuat persediaannya ke atas kita antaranya ialah ia akan mula mengikuti kita sepanjang masa. Akan terjadi malaikatmaut ini akan memperlihatkan wajahnya sekilas lalu dan jika ini terjadi, mereka yang terpilih ini akan merasakan seakan-akan bingung seketika. Adapun malaikatmaut ini wujudnya cuma seorang tetapi kuasanya untuk mencabut nyawa adalah bersamaan dengan jumlah nyawa yang akan dicabutnya.

Tanda 7 hari
Adapun tanda ini akan diberikan hanya kepada mereka yang diuji dengan musibah kesakitan di mana orang sakit yang tidak makan secara tiba-tiba ianya berselera untuk makan.

Tanda 3 hari
Pada ketika ini akan terasa denyutan di bahagian tengah dahi kita iaitu diantara dahi kanan dan kiri. Jika tanda ini dapat dikesan maka berpuasalah kita selepas itu supaya perut kita tidak mengandungi banyak najis dan ini akan memudahkan urusan orang yang akan memandikan kita nanti. Ketika ini juga mata hitam kita tidak akan bersinar lagi dan bagi orang yang sakit hidungnya akan perlahan-lahan jatuh dan ini dapat dikesan jika kita melihatnya dari bahagian sisi. Telinganya akan layu dimana bahagian hujungnya akan beransur-ansur masuk ke dalam. Telapak kakinya yang terlunjur akan perlahan-lahan jatuh ke depan dan sukar ditegakkan.

Tanda 1 hari
Akan berlaku sesudah waktu Asar di mana kita akan merasakan satu denyutan di sebelah belakang iaitu di kawasan ubun-ubun di mana ini menandakan kita tidak akan sempat untuk menemui waktu Asar keesokan harinya. Tanda Akhir Akan berlaku keadaan di mana kita akan merasakan satu keadaan sejuk di bahagian pusat dan ianya akan turun ke pinggang dan seterusnya akan naik ke bahagian halkum. Ketika ini hendaklah kita terus mengucap kalimah syahadah dan berdiam diri dan menantikan kedatangan malaikatmaut untuk menjemput kita kembali kepada Allah s.w.t. yang telah menghidupkan kita dan sekarang akan mematikan pula. Seelok-eloknya bila sudah merasa tanda yang akhir sekali, mengucap dalam keadaan qiam and jangan lagi bercakap-cakap.

Sesungguhnya marilah kita bertaqwa dan berdoa kepada Allah s.w.t. semoga kita adalah di antara orang-orang yang yang dipilih oleh Allah yang akan diberi kesedaran untuk peka terhadap tanda-tanda mati ini semoga kita dapat membuat persiapan terakhir dalam usaha memohon keampunan samada dari Allah s.w.t. mahupun dari manusia sendiri dari segala dosa dan urusan hutang piutang kita. Walaubagaimanapun sesuai dengan sifat Allah s.w.t. yang Maha Berkuasa lagi Maha Pemurah lagi maha mengasihani maka diriwatkan bahawa tarikh mati seseorang manusia itu masih boleh diubah dengan amalan doa iaitu samada doa dari kita sendiri ataupun doa dari orang lain. Namun ianya adalah ketentuan Allah s.w.t. semata-mata. Oleh itu marilah kita bersama-sama berusaha dan berdoa semoga kita diberi hidayah dan petunjuk oleh Allah s.w.t. serta kelapangan masa dan kesihatan tubuh badan dan juga fikiran dalam usaha kita untuk mencari keredhaan Allah s.w.t. samada di dunia mahupun akhirat. Apa yang baik dan benar itu datangnya dari Allah s.w.t. dan apa yang salah dan silap itu adalah dari kelemahan manusia itu sendiri.

Makna Ahlussunnah wal jamaah

Kata “Ahlussunnah” terdiri dari dua suku kata yaitu ahlu yang berarti keluarga, pemilik, pelaku atau seorang yang menguasai suatu permasalahan. Dan kata Sunnah yang berarti apa yang datang dari Nabi baik berupa syariat, agama, petunjuk yang lahir maupun yang bathin, kemudian dilakukan oleh sahabat, tabiin dan pengikutnya sampai hari Kiyamat. [5]
Namun dalam perspektif syariah (fiqh) kata sunnah sering diartikan dengan Perbuatan yang kalau dilakukan mendapat pahala, dan kalau ditinggalkan tidak mendapat dosa. Namun yang dimaksud dengan As-Sunnah" di sini adalah adalah,” Thariqah (jalan hidup) Nabi r yang juga dilalui oleh para shahabat yang telah selamat dari syubhat dan syahwat". Fudhail bin Iyadh berkata,”Ahlus Sunnah adalah orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal" [6].
Karena tidak memakan yang haram termasuk salah satu sunnah yang dilakukan oleh Nabi r dan para shahabat.
Dengan demikian maka Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Rasulullah r dan sunnah shahabatnya. Imam Ibnul Jauzi berkata,” Tidak diragukan bahwa orang yang mengikuti atsar Rasulullah r dan atsar para shahabatnya adalah Ahlus Sunnah" [7].
Adapun kata jamaah berarti bersama atau berkumpul. Dinamakan demikian karena mereka bersama dan berkumpul dalam kebenaran, mengamalkannya dan mereka tidak mengambil teladan kecuali dari sahabat, tabiin dan ulama–ulama yang mengamalkan sunnah sampai hari Kiyamat.
Sedangkan menurut istilah, dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, ” Ahlussunnah wal jamaah adalah orang yang mengamalkan sunah Rasulullah dan berkumpul di dalamnya dengan beribadah kepada Allah baik dalam masalah aqidah (keyakinan), perkataan, perbuatan, dan panutannya adalah Shalafusshalih dari sahabat, tabiin dan pengikut tabiin”.

Makna Manhaj


undefined



Secara bahasa kalimat “manhaj“ berasal dari kata –nahaja- yang berati jalan yang terang [1]. Bisa juga berarti jalan yang ditempuh seseorang, Allah I berfirman:
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang”. [2]

Ibnu Abbas t berkata:
وَاللهِ مَا مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ حَتَّى تَرَكَ السَّبِيْلَ نَهْجًا وَاضِحًا
“Demi Allah, Rasulullah tidak meninggal dunia, hingga meninggalkan jalan yang jelas” [3]

Adapun manhaj yang dimaksud di sini adalah jalan hidup Rasulullah e yang kemudian dilalui oleh para sahabat, Tabi’in dan pengikutnya dalam kebenaran hingga hari kiamat, sebagaimana firman Allah I :
” Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". [4]

Ikhwankaffah

semoga blog dakwah saya yang pertama ini dapat menjadi media bagi kita semua untuk lebih sempurna dalam mendalami agama islam.