Sirah Sa’d bin Muadz

Selasa, 22 Desember 2009



Namanya adalah Sa’d bin Muadz bin an Nu’man bin Imri’ al Qais al Asyhali al Anshari radhiyallahu ‘anhu, seorang Sahabat yang memiliki kedudukan yang agung. Dia masuk Islam sebelum Hijrah melalui Ibnu Umair radhiyallahu ‘anhu. Ia pernah berkata kepada kaumnya, “Ucapan laki-laki dan perempuan kalian haram bagiku hingga kalian masuk Islam. Masuk Islamlah kalian! Sa’d bin Muadz radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang paling agung berkahnya bagi agama Islam.

Sa’d bin Muadz radhiyallahu ‘anhu ikut andil dalam perang Badar. Beliau terkena lemparan anak panah pada perang Khandaq dan ia hidup sebulan. Kemudian, setelah memberikan keputusan hukum bagi bani Quraidzah, lukanya semakin membengkak dan wafat pada tahun kelima Hijrah.

Keberadaan di sisi Rasulullah juga memberikan kekuatan bagi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Dalam sebuah syair disebutkan:

“Jika dua Sa’d masuk Islam

Maka Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam di Mekkah tidak takut terhadap perbuatan orang yang menyelisihi.”

(maksudnya adalah Sa’d bin Ubadah, pembesar suku Khazraj dan Sa’d bin Muadz pembesar suku Aus)

Peran Sa’d Dalam Memberikan Keputusan Terhadap Bani Quraidzah

Dalam kitab Fathul Bari, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan: Sa’d bin Muadz radhiyallahu ‘anhu terkena lemparan anak panah pada urat nadi tangannya oleh seorang Quraisy yang bernama Hibban bin al Ariqah/Hibban bin Qais dari bani Maish bin Amir bin Luay. Lalu Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pun membangun tenda untuk Sa’d radhiyallahu ‘anhu di masjid, agar beliau bisa menjenguknya dari dekat.”

Selanjutnya Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan: Tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pulang dari khandaq, beliau meletakkan senjatanya lalu mandi. Kemudian datanglah seseorang (Jibril).” (dalam riwayat lain: Seseorang memberikan salam kepada kepada kam. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam terkejut lalu berdiri, aku juga berdiri. Ternyata dia adalah Dihyatul Kalbi. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ini adalah Jibril.” Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda: “Ia datang kepadaku untuk menyuruhku pergi kepada bani Quraidzah.”). Kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam membersihkan debu-debu yang ada di muka Jibril. Jibril berkata, “Engkau telah meletakkan senjatamu. Demi Allah azza wa jalla, aku belum meletakkan senjataku. Keluarlah kepada mereka!” Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Kemana?” Kemudian Jibril mengisyaratkan kepada bani Quraidzah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pun keluar setelah itu. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengepung mereka selama 15 atau 25 malam. (lihat al Fath 9/212-216). Pengepungan tersebut membuat mereka merasa berat dan Allah azza wa jalla juga menanamkan rasa takut kedalam hati mereka.

Dalam kondisi demikian, yaitu mereka merasa yakin bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dan pasukannya tidak akan pergi meninggalkan mereka; pemimpin mereka Ka’b bin Asad berkata kepada mereka, “Wahai kaum Yahudi! Sesungguhnya keadaan kalian adalah seperti yang kalian lihat sekarang. Aku tawarkan kepada kalian tiga hal, pilihlah mana yang kalian suka!” Mereka bertanya, “Apa saja itu?” Ka’b menjawab,”Pertama: kita mengikuti lelaki ini (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) dan beriman kepadanya. Demi Allah, kalian sudah tahu bahwa dia adalah seorang nabi yang diutus kepada kalian. Sungguh, dialah lelaki yang telah disebutkan dalam kitab kalian. Jika kalian bersedia, maka darah, harta benda, anak-anak dan istri-istri kalian akan aman.” Mereka menjawab,”Kami tidak akan meninggalkan hukum Taurat selamanya dan kami tidak akan mengambil hukum selainnya.” Lalu Ka’b berkata,”Kalian tidak setuju dengan usulan ini, maka usulan Kedua: mari kita bunuh anak-anak dan istri kita. Kemudian kita keluar mengangkat pedang melawan Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dan para Sahabatnya. Kita tidak akan meninggalkan beban di belakang kita. Hingga Allah memberi keputusan antara kita dan mereka. Jika kita binasa, maka selesailah urusannya! Kita tidak meninggalkan keturunan yang kita khawatirkan. Dan jika kita menang, maka demi Allah, kalian pasti akan mendapatkan wanita dan anak-anak lagi.” Mereka menjawab,”Kita akan bunuh orang-orang lemah ini?! Jika kita bunuh mereka, maka kesenangan hidup apalagi bagi kita setelah kehilangan mereka?” Ka’b menjawab.”Jika kalian enggan dengan ini, maka usulan ketiga: pada sabtu malam, mungkin Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dan para Sahabatnya akan memberikan keamanan kepada kita. Maka menyerahlah! Mudah-mudahan kita bisa mengintai Muhammad dan pasukannya. Mereka mengatakan,”(jika demikian) berarti kita mengotori hari sabtu kita dan melakukan suatu yang tidak pernah dilakukan pendahulu kita kecuali orang yang telah engkau tahu, sehingga mereka tertimpa musibah yang sudah kita pahami bersama.” Kemudian Ka’b berkata dengan nada tinggi karena marah,”Sejak kalian dilahirkan, kalian tidak pernah memiliki pendirian yang teguh walau hanya semalam.”

Akhirnya, kemudian mereka mengirim utusan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan pesan,”Utuslah Abu Lubabah bin Abdul Mundzir, saudara bani Auf agar menemui kami. Kami akan meminta pendapatnya.” Dulu mereka adalah sekutu suku Aus. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengutusnya. Saat melihat kedatangan Abu Lubabah, semua laki-laki bangkit dan mengeruminya sedangkan wanita dan anak-anak menangis dihadapannya. Abu Lubabah sangat iba melihat keadaan mereka. Mereka berkata”Wahai Abu Lubabah, apakah kami harus tunduk kepada keputusan Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam?” Dia menjawab,”Begitulah.” Sambil memberi isyarat dengan tangannya yang diletakkan di leher yang maksudnya: jika kalian tunduk kepada hukum Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, kalian akan di hukum mati. Setelah itu Abu Lubabah sadar bahwa ia telah mengkhianati Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Seketika itu dia berbalik dan tidak menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tapi langsung mengikat tubuhnya di salah satu tiang masjid. Ia berkata,”Aku tidak akan meninggalkan tempatku hingga Allah ta’ala memberi taubat kepadaku terhadap semua yang telah aku lakukan.” (Lihat as Siratun Nabawiyah, Ibnu Hisyam hal.793-794)

Ibnu Ishak rahimahullah menyebutkan: “Tatkala pengepungan sudah sangat ketat, mereka pun terpaksa tunduk kepada hukm Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Melihat kondisi ini suku Aus berkata kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah engkau telah memperlakukan sekutu Khazraj dengan perlakuan yang telah engkau putuskan (engkau maafkan, kenapa engkau tidak memaafkan bani Quraidzah-red).” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Apakah kalian tidak rela salah seorang diantara kalian menetapkan hukuman buat bani Quraidzah?” Mereka menjawab,”Ya” maka beliau berkata,”Serahkanlah kepada Sa’d.”

Dalam banyak kitab sirah disebutkan bahwa mereka tunduk dengan hukum Sa’d radhiyallahu ‘anhu; dan telah disepakati bawah mereka telah tunduk kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sebelum tunduk kepada hukum Sa’d radhyallahu ‘anhu. Alqamah bin Waqash radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa tatkala kondisi dan situasi serasa berat bagi mereka, seseorang memerintahkan,”Tunduklah kalian kepada keputusan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam!” Tatkala mereka meminta petunjuk kepada Abu Lubabah, ia menjawab,”Kita tunduk kepada hukum Sa’d bin Muadz radhiyallahu ‘anhu.” Setelah itu Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengembalikan hukum kepada Sa’d bin Muadz radhiyallahu ‘anhu.

Kemudian Sa’d radhiyallahu ‘anhu berkata,”Dalam hal ini aku memutuskan agar prajurit bani Quraidzah dibunuh; para wanita & anak-anak ditawan dan harta bendanya dibagi-bagikan.”

Hisyam (seorang perawi) mengatakan,”Ayahku menceritakan kepadaku dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Sa’d radhiyallahu ‘anhu pernah berdoa kepada Allah azza wa jalla, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah mengetahui bahwa tidak ada suatu kaum pun yang lebih suka aku perangi daripada mereka yang telah mendustakan dan mengusir Rasul-Mu. Ya Allah, aku mengira Engkau telah menghentikan peperangan antara kami dan mereka. Jika masih ada lagi peperangan dengan mereka, maka panjangkan usiaku hingga aku bisa berperang karena-Mu. Dan jika Engkau telah menghentikan peperangan, maka parahkanlah lukaku dan takdirkanlah kematianku saat itu.”

Kemudian lukanya pun bertambah parah. Tidak ada sesuatu yang mengejutkan penghuni kemah bani Ghifar (penghuni masjid) tatkala itu, melainkan darah yang terus mengalir menuju mereka. Mereka bertanya,”Wahai penghuni tenda, apa ini yang mengalir menuju kami dari arah kalian?” Tiba-tiba darah itu mengalir semakin cepat dan Sa’d radhiyallahu ‘anhu pun meninggal dunia.” [Lihat al Fath 9/213]

Dalam riwayat disebutkan bahwa ketika jenazahnya berada di hadapan manusia, orang-orang munafikin mengatakan,”Sungguh ringan sekali jenazahnya.” Kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,”Sesungguhnya para malaikat membawa jenazahnya, dan arsy Allah azza wa jalla bergoncang karenanya.”

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

“Singgasana Allah azza wa jalla bergoncang karena kematian Sa’d bin Muadz.” [HR.al Bukhari]

Maraji’:

1. Kitab Fadhailul Sahabah Lil Imam Ahmad hal.1029
2. Kitab Shahihul Musnad min Fadhailil Sahabah hal.267
3. Kitab Sirah Nabawiyah Ibni Hisyam hal.793-794

Sumber:

Diketik ulang dari Majalah as Sunnah Edisi 04 Thn.XIII, Rajab 1430/Juli 2009, Rubrik Baituna hal.8-9

Dipublikasikan kembali oleh : http://alqiyamah.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar